Jakarta, Nusantarapos – Pengelolaan limbah medis Covid-19 dinilai bisa menjadi ancaman baru krisis iklim. Hal ini disampaikan dalam diskusi bertajuk ‘Diskusi Bareng Anak Muda:
Darurat Limbah Medis, Kita Bisa Apa?’ yang diadakan Selasa (24/8) dan dihadiri secara virtual oleh Tasya Kamila (figur publik dan pegiat lingkungan), Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D. (Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/BAPPENAS RI), bersama Amalia Renjana (DETALKS) dan dr. Dimas Muhammad (Doctors for XR Indonesia).
Saat ini, Pemerintah dianggap belum melakukan pengelolaan limbah medis dengan baik. DETALKS dan Doctors for XR Indonesia pun memulai sebuah petisi di laman Change.org yang mendesak Pemerintah untuk memastikan dan menjamin pengelolaan limbah medis yang transparan, cepat, dan ramah lingkungan. Sampai hari ini, petisi tersebut telah berhasil didukung oleh 29.000++ orang.
“Kami merupakan orang biasa yang memiliki perhatian besar terhadap dampak limbah medis kepada kehidupan masyarakat sehari-hari. Dan ternyata, ada 29 ribu orang lain yang juga ikut mendukung gerakan yang kami buat,” kata Amalia Renjana, salah seorang perwakilan pembuat petisi.
Amalia juga menceritakan bagaimana pengelolaan limbah medis yang baik dan ramah lingkungan bisa berpengaruh pada kehidupan setiap orang. “Saat ini, saya memiliki teman di Tebet, Jakarta, yang bingung dan takut karena mau dibangun insinerator, karena takut menjadi sumber polusi udara lagi. Padahal, tidak semua limbah medis harus dikelola menggunakan pembakaran,” ceritanya.
Insinerator merupakan alat pemusnah limbah medis dengan teknik pembakaran, yang banyak digunakan di Indonesia. Banyak pihak, termasuk para pembuat petisi, yang merasa penggunaan insinerator yang berlebihan untuk mengelola limbah medis bisa memperparah krisis iklim akibat polusi dan emisi yang dihasilkan oleh alat tersebut.
Terkait dengan krisis limbah B3 medis ini, Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D., mengatakan bahwa persoalan limbah medis memang masih menjadi permasalahan besar, termasuk penggunaan alat insinerator yang dianggap dilematis.
“Ada lima jenis alat pengelola limbah medis, dan semuanya sudah proven / terbukti. Insinerator, teknologinya kalau diterapkan dengan baik bisa bekerja dengan baik. Tetapi, kalau di Indonesia, sampai hari ini saya belum pernah lihat ada yang dijalankan dengan benar. Dari segi manajemen masih banyak persoalannya, malah jadi seperti tungku. Dilematis bagi fasyankes untuk menerapkan insinerator,” tutur Ir. Medrilzam.
Sementara itu, dr. Dimas Almakna dari Doctors for XR, salah seorang perwakilan pembuat petisi, juga mengaku bahwa selama ini pengelolaan limbah medis di fasilitas pelayanan kesehatan belum memadai.
“Kebanyakan fasyankes mau mengelola limbah medis mereka agar tidak mendapatkan dari pihak luar yang akan mengecek, bukan dari kesadaran mereka sendiri. Padahal, sebagai tenaga medis, diperlukan juga aksi dan kesadaran dari diri.”
Tidak hanya terbatas pada level nasional dan di fasyankes, problematika limbah medis juga terjadi di level domestik. Keprihatinan ini dialami oleh Tasya Kamila, figur publik dan juga seorang pegiat lingkungan. Tasya yang selama ini sering melakukan pengumpulan sampah melalui bank sampah, merasa belum ada sebuah fasilitas yang bisa digunakan untuk mengelola limbah medis, terutama masker, yang ia gunakan.
“Aku sering bingung harus diapain masker bekas. aku sampai cari tahu di internet harus diapain sampah masker. Di rumah aku udah mulai melakukan pilah sampah, dan sampah dijemput langsung lewat aplikasi. Tapi ternyata aplikasi dan bank sampah belum mau menerima sampah masker. Di satu sisi mau melindungi diri, tapi di sisi lain aku mau mengurangi sekali pakai,” ceritanya.
Untuk itu, keempat pembicara pun setuju bahwa masyarakat perlu bersuara lebih keras lagi agar pengelolaan limbah medis dapat dilakukan secara cepat, transparan dan juga memperhatikan aspek keberlanjutan.
“Anak muda perlu bersuara lebih keras lagi tentang isu ini. Tapi ‘berisiknya’ jangan hanya di nasional. ‘Berisik’-nya juga harus sampai di daerah-daerah, karena awareness tentang bagaimana kita harus mengelola limbah medis ini perlu juga sampai ke pelosok-pelosok negeri ini,” tutup Ir. Medrilzam.