Masih berdaulatkah Indonesia? Sementara sektor perekonomian nasional, lahan tanah, hutan, perkebunan, pertambangan dalam cengkeraman kuasa 0,2 % minoritas. Dengan beternak penguasa, asset kekayaan alam Indonesia berada dalam penguasaan penuh dan eksploitasi para taipan.
Akibat kerakusan taipan berkongkalikong dengan penguasa selain merugikan hajat hidup rakyat banyak, juga menimbulkan kerusakan parah ekosistem dan merongrong kedaulatan NKRI. Demikian di sampaikan Rizal Kobar pendiri Komando Barisan Rakyat (Kobar) dalam keterangannya pada redaksi di Jakarta, Jumat (24/9/2021).
Hal ini disampaikan Rizal jelang acara diskusi yang akan di gelar KOBAR bersama Qomat (Qomando Rakyat Tertindas) pada Sabtu (25/9) di Cafe Bintang Jakarta Pukul 14.00 WIB. Akan tampil sebagai pembicara dalam diskusi ini seperti yang di terima redaksi adalah Rizal Kobar dan Martimus Amin (Koordinator Qomat).
Rizal mengatakan, Prediksi ilmuwan pemanasan global menjadi penyebab bencana cuaca ekstrim di seluruh dunia, salah satu dampaknya kenaikan suhu bumi sebesar 1.1°C, akibat pembakaran bahan bakar fossil. Salah satunya industri pembangkit listrik bahan bakarnya masih menggunakan batubara.
Perubahan iklim menyebabkan perubahan pola cuaca di seluruh dunia, akibatnya semakin sering terjadi gelombang panas dan kekeringan dalam waktu panjang, akan memicu kebakaran hutan dengan area yang sangat luas.
Hutan di Sumatera, Kalimantan hingga Papua, terus mengalami eksploitasi dan penghancuran oleh korporasi, berupa penggundulan hutan untuk dialihkan menjadi industri ekstraktif..
Aktifitas industri ekstraktif mengeksploitasi alam bukan hanya berdampak menyusutnya hutan yang berfungsi menyerap emisi karbon dioksida, sekaligus ikut memperparah laju pemanasan global dan mengancam sumber penghidupan puluhan juta masyarakat adat.
Penelusuran WALHI tahun 2013 hingga 2019 didapatkan data cukup mencengangkan, penguasaan lahan sawit di Indonesia dikendalikan oleh 25 orang taipan. Total luasan hutan dikuasai oleh konglomerat sawit sebesar 12.3 juta ha.
Padahal di Indonesia terdapat 50-70 juta masyarakat adat yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan. Ketika hutan dirusak dan dikuasai oleh korporasi, selain memperparah laju pemanasan global, konflik agraria bakal meningkat. Pemerintah seharusnya menghargai hak-hak masyarakat adat dan melindunginya dari kriminalisasi korporasi, bukan malah memberikan karpet merah pada kapitalisme.
Tak kalah mengkhawatirkan selama pemerintahan Jokowi, setidaknya dalam 20 tahun terakhir terjadi deforestasi di Papua seluas 663.443 ha. 71 % diantaranya terjadi sepanjang tahun 2011 sampai 2019. Penyumbang deforestasi terbesar adalah untuk pembukaan perkebunan sawit seluas 339.247 ha. Dari hasil penelusuran hanya 194 ribu ha ditanami sawit, selebihnya dalam kondisi rusak.
Dampak pengalihan fungsi hutan menjadi wilayah industri ekstraktif baik itu perkebunan, properti, pertanian, kehutanan, tambang, infrastruktur dan kelautan, sarat dengan beragam masalah. Dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2018 telah terjadi 410 konflik agraria dengan luas wilayah konflik 807.177 ha, dengan melibatkan 87.568 KK.
Dengan kerusakan hutan seluas itu, tidak mengherankan jika sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat terdapat 2.925 kejadian bencana alam di Indonesia, mulai banjir, bandang, puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, serta gelombang panas.
Praktik ekosida atau pemusnahan lingkungan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup menjadi fakta praktik buruk segelintir korporasi yang menguasai jutaan hektar lahan terbukti memperparah intensitas bencana di Indonesia. Jumlah korban jiwa pun naik hampir tiga kali lipat, yakni pada periode 2017 hingga 2018 telah terjadi peningkatan jumlah korban bencana. Sebelumnya 3.49 juta orang menjadi 9.88 juta orang.
“Data ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk mengkaji ulang arah kebijakannya. Karena baru-baru ini aturan yang dibuat oleh pemerintah maupun DPR justru menguntungkan segelintir pengusaha dan korporasi ekstraktif dengan menggadaikan nasib jutaan masyarakat,” ungkap Rizal.
Dia menegaskan, Amien Rais menyebut 74% lahan di Indonesia dikuasai kelompok tertentu. Data itu diperoleh dari Komnas HAM, Ombudsman, Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga lembaga-lembaga lain khusus membidangi masalah agraria.
KOMNAS HAM dan Ombusmen RI menyampaikan hal senada. 35 juta hektare tanah dikuasai beberapa orang lewat konsesi yang didapat sejak zaman Presiden Soeharto dan dilanjutkan secara turun-temurun. Ada empat pengusaha di Indonesia yang kekayaannya hampir sama dengan kekayaan setengah penduduk Indonesia, dan segelintir kelompok itulah menguasai tanah yang sangat luas.
Sinar Mas saja menguasai lahan 5 juta ha, pemerintah harus mengambil langkah merampas kembali sebagian besar tanah yang dikuasai konglomerasi besar di Indonesia, untuk dibagikan kepada kelompok masyarakat miskin.
Selain bisnis perkebunan dan pertambangan, Para Taipan bergerak di bidang properti. Pengalihan lahan tidak sesuai peruntukan juga menjadi sumber kerusakan lingkungan dan bencana alam. Seperti pembangunan dan perluasan Perumahan Indah kapuk (PiK) dan proyek Reklamasi di Pantura jakarta. Hutan magrove yang berfungsi sebagai resapan air telah dibangun perumahan mewah. Pembangunan perumahan mewah ini selain sumber kerusakan lingkungan, juga rawan menjadi masalah sosial dan ancaman bagi kedaulatan NKRI.
Contoh lain dalam kasus PT. Sentul City yang hanya berbekal surat sakti ‘Sertifikat HGB’ meski tidak pernah menguasai langsung fisik tanah, dengan seenaknya menggusur penggarap yang sudah lama menguasai dan memanfaatkan lahan.
Padahal konspirasi antara taipan dan pejabat telah ditelanjangi oleh KPK dengan menangkap dan menahan owner PT Bukit Jonggol Asri dan PT Sentul City Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng, atas sangkaan kasus pemberian suap sebesar Rp. 4,5 miliar kepada Bupati Bogor Rachmat Yasin dalam perkara dugaan korupsi tukar-menukar kawasan hutan seluas 2.754 ha di Kab. Bogor.
Ironisnya eks komisioner KPK Basaria Panjaitan malah menjadi komisaris perusahaan. Begitu mengerikan dramaturgi hukum yang dipertontonkan di negeri ini.
Belum lagi konsumen/ masyarakat yang dirugikan akibat korban penipuan pengusaha properti. Seperti testimoni Sdr. HAMDAN NUGROHO yang mengiisahkan ibunya dan konsumen lainnya yang sudah hampir melunasi pembayaran pembelian rumah kepada PT. Bukit Sentul dimilik taipan James Riyadi, kemudian dengan cara licik perusahaan dipailitkan.
FJ. RAHMAN yang baru diterima bekerja dan sedikit demi sedikit menyisihkan gajinya membeli unit apartemen karena tawaran dan iming-iming PT. PODOMORO GOLF VIEV (PGV), tidak dapat menerima serah terima unit sesuai jadual dijanjikan karena apartemen belum dibangun
Tidak kalah mirisnya, Babinsa yang melindungi masyarakat selaku pemilik sah atas tanahnya dari aksi penggusuran PT. Citra Land, dintimidasi satuan Brimiod dan dipanggil oleh Polda Sulut, sebagaimana dari surat terbuka Inspektur Komando Daerah Militer XIII/Merdeka Brigjen TNI Junior Tumilar kepada Kapolri.
“Inilah puncak gunung es dari persoalan tanah di indonesia. Betapa para taipan secara terang-terangan merampok tanah rakyat dan lahan negara, menyalagunakan fungsi tata ruang, sehingga memakan korban rakyat dan kepentingan negara,” sebut Rizal.
“KOMANDO BARISAN RAKYAT (KOBAR) dan QOMANDO MASYARAKAT TERTINDAS (QOMAT) menyerukan kepada rakyat Indonesia bangkit melawan, menuntut pemerintah RI merampas kembali penguasaan lahan oleh Taipan, dan mengembalikan fungsi tanah seperti semula, dalam rangka menjaga masa depan kelestarian lingkungan hidup Indonesia dan dunia, serta melindungi hak-hak dasar masyarakat,” pungkas Rizal. (mars/*)