Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) dibawah pimpinan Tri Firdaus Akbarsyah dan Agung Iriantoro bekerjasama dengan Universitas Yayasan Rumah Sakit Islam (Universitas YARSI) sukses menyelenggarakan seminar internasional dengan tema “Peran Ikatan Notaris Indonesia Yang Visioner Untuk Mempersiapkan Notaris Menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan Memperkuat Keberadaan Civil Law”.
Acara yang diadakan di Aula Ar Rahman lantai 12 Universitas YARSI, Jakarta itu digelar selama sehari penuh itu dihadiri oleh lebih dari 500 peserta yang merupakan Notaris dari berbagai Indonesia, anggota luar biasa (ALB) dan mahasiswa/mahasiswi prodi kenotariatan.
Kehadiran lebih dari 500 peserta itu karena panitia penyelenggara seminar internasional menghadirkan beberapa narasumber yang berkompeten seperti Richard Bock (The German Federal Chamber of Notaris), Lovro Romasic (The German Federal Chamber of Notaris), Agung Iriantoro (Sekum PP INI), Made Pria Dharsana (PP INI), Mohammad Ryan Bakry (Dekan Fakultas Hukum Universitas YARSI), Taufik (Kabid.Organisasi), Pieter Latumenten (Anggot DKP INI), Herlin Budiono (Akademisi) dan Chandra Yusuf (Kaprodi MKn. Universitas YARSI).
Di kesempatan itu Ketua Umum PP INI Tri Firdaus Akbarsyah menyoroti Revolusi Industri 5.0 yang sudah di depan mata. Baginya Revolusi Industri 5.0 adalah penggabungan teknologi canggih yang semakin berkembang saat ini. Seperti kecerdasan buatan, robotik, and sejenisnya.
“Penggabungan teknologi canggih itu dengan inovasi manusia, mendorong pengembangan sistem produksi yang lebih efisien, berkelanjutan, dan kebermanfaatan,” katanya. Dia tidak bisa mengelak bahwa Revolusi Industri 5.0 itu juga akan bersinggungan dengan profesi notaris.
Untuk itu dia berharap para notaris untuk bisa terus berinovasi dan memacu kreativitas. Sehingga bisa menjawab tantangan yang muncul dari Revolusi Industri 5.0 mendatang. Isu-isu di profesi notaris yang berkembang belakangan adalah adanya cyber notary atau e-notaris.
Dia menegaskan sejak 2000 lalu, notaris di Indonesia sudah bersinggungan dengan dunia digital. Tepatnya ketika Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan penerbitan dokumen pengesahan bahan hukum secara elektronik.
Tetapi dia menegaskan e-notaris jangan diartikan pertemuan atau penghadapan langsung notaris dengan klien dalam media digital. “Banyak notaris keberatan,” katanya. Karena sulit untuk menjamin keabsahannya.
Sementara itu Rektor Universitas Yarsi Prof Fasli Jalal menjabarkan berapa sulitnya menjadi Notaris di Jerman, pasalnya Notaris bukanlah profesi sembarangan. Untuk bisa mendapatkan surat keputusan (SK) sebagai Notaris, warga di Jerman butuh waktu sembilan tahun, lebih lama dibandingkan dengan profesi lainnya di Indonesia.
“Karena untuk menjadi dokter di Indonesia hanya dibutuhkan waktu delapan tahun saja, sementara untuk menjadi Notaris di Jerman bisa sampai sembilan tahun,” ujarnya saat memberikan sambutan di seminar internasional itu.
Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional itu menjelaskan dua hari ini saya belajar banyak, betapa di Jerman begitu serius mendidik notaris. Untuk jadi seorang notaris di Jerman, diawali dengan kuliah hukum selama empat tahun penuh.
“Setelah itu bekerja atau magang bersama jaksa atau hakim di sana selama dua tahun. Setelah itu hanya sekitar satu sampai dua persen saja peserta terbaik, yang bisa mengikuti pendidikan lanjutan calon notaris,” katanya.
Lalu, tambah Fasli, ada pendidikan lanjutan calon notaris ini selama tiga tahun. Pendidikan ini memang lebih bersifat non akademik. Yaitu berupa kegiatan magang atau sejenisnya.
Setelah itu dilakukan peninjauan oleh Kementerian Hukum Jerman. Jika dinyatakan memenuhi syarat, maka dikeluarkan SK sebagai notaris. Jadi, ditotal butuh waktu sembilan tahun untuk jadi notaris di Jerman.
“Bayangkan empat tahun kuliah. Ditambah lagi dua tahun. Lalu tiga tahun lagi. Luar biasa,” katanya.
Fasli mengungkapkan sistem pendidikan notaris di Indonesia juga hampir sama. Selain ada pendidikan akademik juga ada pendidikan profesi. Meskipun waktu yang dibutuhkan tidak selama di Jerman.