Refleksi Filosofis Acara Rawat Jagad dan Kontroversi Tarian Keling: Antara Spiritualitas dan Tontonan

PACITAN, NUSANTARAPOS || Acara *Rawat Jagad* sejatinya memiliki makna yang mendalam, yakni menjaga keseimbangan alam semesta, baik dalam lingkup kecil berupa manusia, maupun lingkup besar berupa dunia. Acara ini juga bertujuan mencapai keselarasan antara manusia dan Tuhan. Secara filosofis, *Rawat Jagad* merefleksikan upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Suci melalui pikiran (cipta), perasaan (roso), dan kehendak (karso). Setiap gerakan, sikap, dan tindakan manusia dalam acara tersebut seharusnya mencerminkan perilaku beradab yang menghormati alam dan menuju keselarasan dengan Tuhan sebagai Pencipta langit dan bumi.

Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sering kali jauh dari makna filosofis tersebut. Acara yang seharusnya dipenuhi dengan nilai-nilai spiritual malah lebih didominasi oleh hiburan dan tontonan. Alih-alih menghayati esensi kesucian dan adab luhur, banyak orang lebih terfokus pada aspek pertunjukan dan humor yang kurang mencerminkan nilai-nilai spiritual dari *Rawat Jagad*. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan di kalangan sebagian masyarakat yang memahami kedalaman makna filosofis acara tersebut.

Salah satu elemen yang paling kontroversial dalam acara ini adalah penampilan *Tarian Keling*. Tarian ini dipandang berasal dari era pemujaan zaman Hindu-Buddha, yang mencerminkan manusia yang terperangkap dalam kegelapan dan diwarnai hitam sebagai simbol persembahan kepada dewa. Kehadirannya dalam acara *Rawat Jagad*, yang seharusnya mengedepankan spiritualitas dan kesucian, dianggap tidak sesuai dengan esensi sakral acara tersebut.

Dalam sejarah, *Tarian Keling* sering diasosiasikan dengan ritual pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat tertentu di masa lalu. Manusia yang memiliki wujud sempurna digambarkan diubah menjadi sosok berwarna hitam, mencerminkan keterikatan pada dunia fana. Dalam acara yang bersifat sakral, penampilan tarian ini dipandang tidak pantas dan bahkan bisa mengganggu makna spiritual acara *Rawat Jagad* yang ingin disampaikan.

Banyak yang berharap agar penyelenggara acara lebih berhati-hati dalam memilih elemen pertunjukan, terutama yang diadakan dalam konteks acara sakral. Tarian yang memiliki konotasi negatif di masa lalu bisa menimbulkan kesalahpahaman, bahkan kekhawatiran akan adanya simbolisme pengorbanan manusia. Harapan besar ditujukan agar tidak ada lagi “tumbal manusia,” baik secara simbolis maupun harfiah, dalam kehidupan masyarakat modern.

Selain itu, acara *Rawat Jagad* seharusnya menjadi momen refleksi untuk semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, agar lebih fokus pada masalah-masalah mendesak yang dihadapi. Pacitan, sebagai salah satu kabupaten termiskin di Jawa Timur yang juga menghadapi krisis kekeringan, memerlukan perhatian serius. Alih-alih terjebak dalam simbolisme masa lalu, pemerintah harus lebih memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dengan adanya sisa anggaran (silpa) sebesar 116 miliar, masyarakat berharap pemerintah dapat lebih bijaksana dalam penggunaannya. Fokus utama seharusnya diarahkan pada peningkatan layanan publik, infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi, agar kesejahteraan rakyat bisa meningkat. Seorang budayawan menambahkan bahwa seni, meskipun sudah baik, perlu dikembangkan selaras dengan adab dan tuntunan budaya lokal. Penampilan seni juga harus memperhatikan etika dan adab budaya Pacitan.