Penulis: Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat) Sugiyanto
Jakarta , Nusantarapos.co.id – Jakarta akan segera kehilangan statusnya sebagai Ibu Kota, seharusnya tokoh-tokoh Betawi mendapatkan tempat yang lebih besar dalam memimpin daerah ini
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) telah resmi ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 April 2024. Dengan demikian, Jakarta tak lama lagi tidak akan menjadi Ibu Kota Negara. Namun, hingga kini, Jakarta masih memegang status tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UU No. 2 Tahun 2024 tentang DKJ. Pasal tersebut menyatakan bahwa Jakarta tetap menjadi Ibu Kota Negara hingga adanya keputusan resmi dari Presiden terkait pemindahan Ibu Kota Negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dalam konteks transisi ini, keberadaan masyarakat Betawi dalam Pilkada Jakarta semakin krusial. Mengingat Jakarta akan segera kehilangan statusnya sebagai Ibu Kota, seharusnya tokoh-tokoh Betawi mendapatkan tempat yang lebih besar dalam memimpin daerah ini. Pilkada Jakarta pada November 2024 merupakan momen penting bagi masyarakat Betawi untuk menunjukkan peran mereka. Namun ironisnya, tidak ada satupun tokoh Betawi yang tampil sebagai calon gubernur atau wakil gubernur.
Budaya Betawi kerap dijadikan alat kampanye oleh para calon untuk meraih simpati masyarakat. Namun, sangat disayangkan bahwa tidak ada perwakilan tokoh asli Betawi yang maju dalam kontestasi ini. Masyarakat Betawi seolah pasrah, bahkan memberikan dukungan kepada calon-calon dari luar daerah.
Masyarakat Betawi tidak perlu merasa bangga hanya karena mendukung calon dari luar daerah. Mereka harus lebih kritis dalam mempertimbangkan pentingnya representasi lokal.
Betawi bukan sekadar bagian dari sejarah Jakarta; mereka adalah bagian integral dari identitas kota ini. Mendukung calon dari luar daerah berisiko menghilangkan kekuatan politik lokal yang dapat lebih otentik mewakili kepentingan masyarakat Betawi.
Pemimpin dari komunitas Betawi tentu lebih memahami nilai-nilai serta tantangan yang dihadapi masyarakat lokal.
Putra daerah atau tokoh Betawi memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam melestarikan budaya dan memajukan komunitas mereka. Sebaliknya, calon dari luar daerah sering kali hanya menonjolkan aspek budaya Betawi sebagai bagian dari strategi politik untuk meraih suara, tanpa komitmen jangka panjang.
Betawi dan Peran Politik Lokal
Masyarakat Betawi memiliki kekuatan sosial dan budaya yang besar, tetapi sayangnya kekuatan ini belum dimanfaatkan secara optimal dalam politik lokal. Mendukung calon dari luar daerah menunjukkan kurangnya kepercayaan diri masyarakat Betawi dalam menentukan nasib mereka sendiri. Kondisi ini bisa dianggap sebagai bentuk ketidakberdayaan dalam mengambil peran signifikan dalam pembangunan Jakarta.
Sudah saatnya kaum Betawi tidak hanya menjadi pendukung pasif, tetapi juga aktif dalam politik lokal. Betawi bukan komunitas yang kekurangan sumber daya manusia berkualitas. Banyak tokoh Betawi yang berpengalaman dan mampu memimpin Jakarta. Pilkada bukan hanya tentang popularitas atau dukungan dari partai besar, melainkan soal representasi sejati dari masyarakat lokal, yaitu putra asli Betawi.
Pada Pilkada Jakarta November 2024, dari tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, tak satupun berasal dari kalangan Betawi. Pasangan nomor urut 1, Ridwan Kamil dan Suswono (RIDO), berasal dari Bandung dan Tegal, Jawa Tengah. Pasangan nomor urut 2, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana (Dharma-Kun), berdarah Toraja, Sulawesi Selatan, dan keluarga atau putra dari Abyoto Hadiprodjo, yang kemungkinan bukan asli dari Betawi. Pasangan nomor urut 3, Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel), berasal dari Kediri, Jawa Timur, dan Minangkabau, Sumatra Barat.
Dalam menghadapi kenyataan ini, masyarakat Betawi harus bersatu dan berkonsolidasi. Dukungan kepada calon dari luar daerah mungkin tak terhindarkan kali ini karena tak ada tokoh Betawi yang maju. Namun, hal yang lebih penting adalah menyusun langkah strategis untuk masa depan. Kaum Betawi harus mendorong perubahan UU DKJ agar keterlibatan putra daerah Betawi menjadi salah satu syarat pencalonan gubernur atau wakil gubernur Jakarta.
Jakarta membutuhkan pemimpin yang tidak hanya peduli pada warganya, tetapi juga memahami secara mendalam karakter dan budaya lokal. Hanya putra daerah asli Betawi yang mampu meresapi dan menghargai pentingnya warisan budaya Betawi serta berkomitmen menjaga dan mengembangkannya.
Pilkada Jakarta 2024 harus menjadi momen refleksi bagi masyarakat Betawi. Mendukung calon dari luar daerah tanpa adanya representasi tokoh Betawi adalah bentuk penyerahan identitas lokal yang seharusnya dijaga. Masyarakat Betawi harus lebih bangga jika mampu melahirkan pemimpin dari kalangan mereka sendiri, yang memahami nilai-nilai lokal sekaligus memiliki visi untuk kemajuan Jakarta.
Sekarang, nasi sudah menjadi bubur! Dari tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, tak satu pun merupakan putra daerah asli Betawi. Persyaratan kritis harus menjadi perjanjian penting masyarakat Betawi dengan para calon pemimpin Jakarta.
Artikel ini saya tujukan sebagai dukungan kepada Putra Daerah Asli Betawi agar tampil sebagai pemimpin Jakarta pada Pilkada 2029. Kemarin, Kamis, 3 Oktober 2024, saya telah menulis artikel berjudul “Ketika Kampung Betawi Dikepung Calon Pemimpin dari Putra Daerah Lain” di akun Facebook (FB) pribadi saya.
Menurut pandangan saya, sebagai orang yang lahir dan besar di Tanjung Priok, Jakarta, pada tahun 1968, inilah saatnya masyarakat Betawi tidak sekadar menjadi pendukung, tetapi juga memegang kendali dalam politik Jakarta. Pada Pilkada 2029, putra daerah atau tokoh asli Betawi harus memimpin tanah Betawi, kampung mereka sendiri.