Penulis: Sugiyanto aktivis senior
Jakarta, Nusantarapos.co.id – Pada Senin, 13 Januari 2025, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) calon anggota DPR dan dugaan obstruction of justice atau merintangi penyidikan Harun Masiku. Pemeriksaan berlangsung sekitar 3,5 jam, namun Hasto tidak ditahan setelah pemeriksaan. Keputusan KPK yang tidak menahan Hasto memunculkan berbagai opini dan perdebatan di masyarakat, bahkan ada yang mengaitkan hal ini dengan dugaan komunikasi politik tingkat tinggi antara Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Prabowo Subianto.
Terkait hal tersebut, Kuasa hukum Hasto menyatakan kliennya siap jika ditahan. Hasto juga mengajukan permohonan penundaan pemeriksaan karena sedang menjalani proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menguji sah atau tidaknya prosedur penetapan tersangka oleh KPK kepada dirinya. Meski demikian, KPK diyakini akan memanggil kembali Hasto Kristiyanto untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Dalam konteks ini saya berpandangan bahwa Sekjen PDI-P Hasto perlu mengambil langkah lain, yaitu mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). JR ini bertujuan untuk menguji kemungkinan ketidakabsahan pimpinan KPK saat ini, yang merupakan hasil seleksi dari mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengajukan gugatan uji materi Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 5 November 2024. Ia meminta agar MK memaknai kembali pasal tersebut secara lebih spesifik. Menurut Boyamin, berdasarkan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 terkait UU KPK, seharusnya Presiden RI hanya boleh membentuk panitia seleksi (pansel) calon pimpinan dan dewan pengawas KPK sekali saja. Oleh karena itu, Boyamin berpendapat bahwa yang berwenang, sah, dan berhak adalah pansel yang dibentuk oleh Prabowo Subianto.
Atas JR dari Boyamin tersebut MK menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa Pasal 30 ayat (1) dan (2) Undang-Undang KPK dianggap sudah jelas dan tidak memerlukan interpretasi tambahan. Dalam hal ini, saya sudah memprediksi bahwa MK akan menolak gugatan semacam ini, karena sejalan dengan pemikiran saya. Pada 11 Oktober 2024, saya pernah menulis artikel berjudul “Proses Waktu Seleksi Capim KPK dan Dewas on The Track: Tak Perlu Ada Polemik, Tanggapan Masyarakat adalah Hal Utama.” Dalam artikel ini, saya menyampaikan bahwa seleksi calon pimpinan (Capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo memang menuai polemik dari sebagian pihak yang berpendapat agar seleksi dilakukan oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Namun, saya berargumen bahwa proses ini sudah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Jika Presiden Jokowi tidak menjalankan proses seleksi ini, justru beliau akan melanggar undang-undang.
Namun, setelah Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan menjalani pemeriksaan, saya berpandangan bahwa Hasto sebaiknya mempertimbangkan untuk mengajukan kembali JR ke MK. Meskipun peluang untuk menang mungkin kecil, tetap ada kemungkinan untuk berhasil, mengingat sebagai tersangka KPK, Hasto diyakini memiliki legal standing yang lebih kuat dibandingkan Boyamin untuk mengajukan gugatan ulang ke MK. Secara logis, jika Boyamin saja bisa melakukan JR ke MK, maka apalagi Sekjen PDI-P Hasto yang notabene tengah menghadapi persoalan hukum dengan KPK, yang hasil seleksinya berasal dari mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam konteks ini, kasus tersebut dapat dianggap memiliki kemiripan dengan kasus pakar hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra, yang pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Prof Yusril pun berhasil menang di MK. Dalam perlawanan hukumnya, mantan Menteri Kehakiman tersebut tidak hanya mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi, tetapi juga melaporkan Jaksa Agung Hendarman Supandji ke Markas Besar Kepolisian RI. Perlawanan ini menunjukkan bahwa status tersangka tidak menghalangi seseorang untuk menggunakan hak hukumnya, termasuk mengajukan gugatan atau uji materi atau JR ke MK.
Sebagai dasar untuk mengajukan JR ke MK, Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, dapat merujuk pada dasar hukum Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi mengadili perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H., Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan secara keseluruhan. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 29 huruf (e) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai dengan ketentuan terkait usia dan pengalaman dalam proses pemilihan.
Selain itu, Pemohon meminta agar Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai dengan ketentuan mengenai masa jabatan Pimpinan KPK. Pemohon juga memohon agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Singkatnya, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan yang menguji dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 terkait usia dan masa jabatan Pimpinan KPK, “Memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan” dengan ketentuan tertentu yang disesuaikan dengan UUD 1945, serta untuk memuat putusan dalam Berita Negara.
Dalam putusan MK tersebut juga disebutkan bahwa pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance, telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar, dan bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang memiliki constitutional importance, yaitu lima tahun, demi memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
Dalam kondisi ini, dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK yang saat itu akan berakhir pada 20 Desember 2023, atau tinggal kurang lebih enam bulan lagi, Mahkamah menilai penting untuk segera memutus perkara tersebut guna memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan. Mahkamah juga menegaskan bahwa KPK, yang dibentuk untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi, harus dijamin independensinya, bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Untuk melindungi independensi KPK, penting adanya perlakuan yang adil terhadap lembaga tersebut, salah satunya terkait masa jabatan pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 34 UU 30/2002.
Mahkamah juga mencatat bahwa masa jabatan pimpinan KPK yang hanya empat tahun, dengan kemungkinan dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan, mengakibatkan dua kali proses seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK dalam satu periode masa jabatan Presiden dan DPR. Hal ini menyebabkan KPK diperlakukan berbeda dengan lembaga negara lain yang memiliki masa jabatan pimpinan lima tahun dan hanya dinilai sekali dalam satu periode Presiden dan DPR. Skema masa jabatan empat tahun untuk pimpinan KPK dapat mengancam independensi lembaga ini karena seleksi dua kali dalam periode yang sama berpotensi mempengaruhi kinerja pimpinan KPK, serta menambah beban psikologis dan benturan kepentingan bagi pimpinan KPK yang hendak mendaftar kembali.
Mahkamah juga berpendapat bahwa perbedaan masa jabatan ini menyebabkan ketidakadilan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah menyarankan agar masa jabatan pimpinan KPK disamakan dengan lembaga negara constitutional importance lainnya, yaitu lima tahun. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan norma Pasal 34 UU 30/2002 bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan KPK memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Selain itu, Mahkamah menegaskan bahwa dengan reformulasi masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun, hal itu juga berdampak pada masa jabatan Dewan Pengawas KPK, yang sebelumnya empat tahun, yang juga harus disamakan menjadi lima tahun untuk menjaga konsistensi dan harmonisasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 37A UU 19/2019, masa jabatan Dewan Pengawas yang semula empat tahun, kini harus disamakan dengan masa jabatan pimpinan KPK.
Dengan pertimbangan di atas, Mahkamah menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dan Pasal 34 UU 30/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan diskriminasi, yang menurut Mahkamah adalah beralasan menurut hukum. Atas hal tersebut, dipersoalkan bahwa Pasal 34 Undang-Undang KPK yang mengatur periodisasi jabatan pimpinan KPK selama 4 (empat) tahun berbeda atau diskriminatif dibandingkan dengan masa jabatan 12 (dua belas) pimpinan lembaga negara non-kementerian lainnya di Indonesia, seperti Komisi Yudisial, Komnas HAM, Ombudsman Republik Indonesia, dan lainnya, yang masa jabatannya adalah 5 (lima) tahun. (Selanjutnya, perbedaan ini diuraikan dalam tabel pada Keputusan MK).
Dalam AMAR PUTUSAN-nya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa: Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409), yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250), yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”. Mahkamah juga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa putusan MK menegaskan bahwa Presiden seharusnya hanya memiliki kewenangan untuk menyeleksi pimpinan KPK satu kali selama masa jabatannya. Oleh karena itu, seleksi pimpinan KPK untuk periode 2024-2029 seharusnya menjadi kewenangan Presiden Prabowo Subianto, bukan Presiden Jokowi. Hal ini memberikan dasar hukum yang cukup untuk mengajukan gugatan ulang ke MK, terutama jika Hasto Kristiyanto merasa ada pelanggaran prosedural atau substansial terkait seleksi pimpinan KPK.
Selain itu, Sekjen PDI-P Hasto mungkin juga bisa beralasan bahwa dia merasa dirugikan karena ditetapkan sebagai tersangka oleh pimpinan KPK yang merupakan hasil seleksi mantan Presiden Jokowi. Langkah ini dapat menjadi preseden penting dalam menegaskan prinsip keadilan hukum dan penegakan konstitusi. Argumentasi ini logis, mengingat pada periode jabatan 2019-2024, Presiden Jokowi sudah menggunakan kewenangannya untuk menyeleksi pimpinan KPK. Oleh karena itu, untuk periode 2024-2029, kewenangan tersebut seharusnya berpindah ke Presiden Prabowo Subianto.
Faktanya, Presiden Jokowi kembali menyeleksi pimpinan KPK untuk periode 2024-2029, yang berarti beliau telah melakukannya dua kali selama masa jabatannya sebagai Presiden RI periode 2019-2024. Hal ini menciptakan situasi di mana pimpinan KPK periode 2024-2029 bukan merupakan hasil seleksi Presiden Prabowo Subianto, yang akan menjabat pada periode tersebut. Kondisi ini menimbulkan ketidaksesuaian antara masa jabatan pimpinan KPK dan kewenangan Presiden yang sedang menjabat, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. Seharusnya, MK juga meminta agar UU KPK disesuaikan sehingga Presiden hanya dapat menyeleksi pimpinan KPK dalam satu masa jabatan Presiden saja.
Merujuk pada aturan yang ada, kondisi seperti ini berpotensi terus berulang tanpa henti, di mana Presiden yang terpilih pada suatu periode tidak akan memiliki kesempatan untuk menyeleksi pimpinan KPK yang bertugas selama masa jabatannya. Secara logis, hal ini bertentangan dengan semangat Putusan MK, yang menegaskan bahwa setiap Presiden hanya memiliki kewenangan untuk menyeleksi pimpinan KPK satu kali selama masa jabatannya. Oleh karena itu, tindakan Presiden Jokowi dalam menyeleksi pimpinan KPK untuk periode 2024-2029 dapat dianggap tidak sejalan dengan Putusan MK tersebut dan berpotensi menimbulkan polemik hukum serta ketidaksesuaian dalam sistem tata negara yang berlaku.
Dalam proses di KPK, Sekjen PDI-P Hasto seharusnya diperiksa pada Senin, 6 Januari 2025. Kemudian, pada Selasa, 7 Januari 2025, KPK menggeledah rumah Hasto di Perumahan Villa Taman Kartini, Blok G3, Nomor 18, Margahayu, Bekasi, Jawa Barat. Baru pada Senin, 13 Januari 2025, Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, diperiksa oleh KPK, dengan kemungkinan besar akan diperiksa kembali dalam rangka pemeriksaan lanjutan. Dari kejadian ini, saya menilai bahwa Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, memiliki legal standing yang cukup kuat untuk menguji keabsahan kepemimpinan KPK saat ini.
Legal Standing Hasto Kristiyanto
Sebagai pihak yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Sekjen Hasto Kristiyanto memiliki kepentingan langsung untuk mempertanyakan keabsahan tindakan hukum yang diambil oleh pimpinan KPK saat ini. Hal ini menjadikannya memiliki legal standing yang kuat untuk mengajukan gugatan ulang. Prof. Henry Subiakto, pakar komunikasi Universitas Airlangga, menegaskan bahwa pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan KPK, seperti Hasto, memiliki hak untuk mempertanyakan legitimasi kepemimpinan lembaga tersebut di MK. “Jika merasa dirugikan, Hasto bisa mempertanyakan keabsahan kepemimpinan KPK ini,” kata Henry.
Dengan demikian, kemungkinan gugatan ulang bisa saja terjadi. Jika hal ini terwujud, gugatan yang diajukan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dapat membuka kembali diskusi mengenai kewenangan presiden dalam menyeleksi pimpinan KPK. MK pun berpeluang untuk meninjau ulang putusannya sebelumnya, terutama jika ada argumen baru yang memperkuat dalil bahwa seleksi Pansel KPK yang dilakukan oleh Jokowi tidak sah.Dalam hal ini, jika gugatan tersebut dikabulkan, dampaknya akan sangat signifikan. Kepemimpinan KPK saat ini dapat dinyatakan tidak sah, dan seluruh keputusan yang telah diambil oleh pimpinan KPK selama periode ini berpotensi dipertanyakan validitasnya. Hal ini tidak hanya memengaruhi legitimasi KPK, tetapi juga dapat menciptakan ketidakpastian hukum di mata publik.
Preseden Putusan MK
Dalam kasus serupa, MK pernah mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Kejaksaan yang diajukan oleh mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, pada 2010. MK menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung harus diselaraskan dengan masa jabatan presiden yang mengangkatnya.
Putusan ini menjadi preseden penting karena memberikan kejelasan tentang batas kewenangan dalam pengangkatan pejabat negara. Ketua MK saat itu, Mahfud MD, menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak memberikan kepastian hukum dan memerlukan legislative review. MK memberikan syarat bahwa masa jabatan Jaksa Agung harus sesuai dengan masa jabatan presiden, yaitu berakhir bersama periode presiden yang mengangkatnya.
Dalam putusan tersebut, dua hakim konstitusi, Achmad Sodiki dan Harjono, memberikan dissenting opinion. Meski demikian, putusan ini menjadi acuan penting untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah tumpang tindih kewenangan.
Merujuk uraian tersebut diatas, dengan dasar hukum yang kuat dari Putusan MK No. 112/PUU-XX/2022, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto sepertinya dapat dianggap memiliki peluang besar untuk mengajukan gugatan ulang terkait keabsahan kepemimpinan KPK saat ini. Jika gugatan ini diterima, hasilnya tidak hanya akan berdampak pada legitimasi kepemimpinan KPK, tetapi juga menjadi preseden penting dalam praktik hukum dan politik di Indonesia.