Nusantarapos.co.id – Jakarta – Mahkamah Konstitusi dalam persidangan, Rabu 5 Februari 2025 memutuskan bahwa Sengketa Pemilihan Gubernur Provinsi Papua dilanjutkan untuk pembuktian dengan agenda pemeriksaan ahli, saksi dan alat bukti lainnya. Sengketa Pilgub Papua 2024-2029 salah satu yang dinyatakan lolos dari ratusan perkara lain yang berhenti dalam proses dismissal dan dinyatakan tidak dapat diterima.
“Tidak hanya proses di MK yang akan terus berlangsung dan ditunggu seluruh rakyat di Papua saja tapi ada proses lain yang juga akan dipersoalkan. Persyaratan calon yang menggunakan surat yang diduga Palsu seolah sebagai surat yang sah atau benar yang digunakan Calon Wakil Gubernur Papua Yermias Bisai, SH sepertinya tidak berhenti di DKPP saja. Pasalnya, fakta-fakta yang terungkap dalam Putusan DKPP membuka pintu proses pidana bagi KPU Papua dan Pihak lain yang terlibat”, ujar Bambang Widjojanto, advokat yang juga mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Kata Bambang, Putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua dan Anggota KPU Papua bukan hanya membuktikan KPU Papua telah melanggar peraturan perundangan tetapi juga sekaligus meruntuhkan argumentasi Bawaslu Papua yang selama ini menolak semua laporan pelanggaran yang diadukan dengan dalih tidak terbukti, tidak memenuhi unsur pelanggaran dan sebagainya.
Sekarang sudah ada Putusan DKPP dan dalam putusannya dikatakan KPU Papua terbukti seacara sah dan meyakinkan melanggar perundang-undangan berkaitan dengan dokumen persyaratan yang digunakan KPU Papua meloloskan Calon Wakil Gubernur Yermias Bisai, tegasnya.
Lanjut Bambang, setidaknya terdapat 3 ( substansi penting dari delik pidana dalam Putusan DKPP, Pertama, menggunakan Suket Tidak Sedang Dicabut Hak Pilihnya Nomor 539 dan Suket Tidak Pernah Sebagai Terpidana Nomor 540 a.n. Yermias Bisai, SH sejak masa pendaftaran, padahal kedua Suket tersebut bukan dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri yang berwenang.
Kedua; Suket 539 dan 540 tersebut juga ternyata bukan dokumen yang benar dan sah dari pengadilan Negeri Jayapura alias palsu, Ketiga; KPU Papua telah bertindak tidak berkepastian hukum karena terbukti telah menerima dan menggunakan dua Suket baru No. 844 dan 845 yang diterbitkan tanggal 19 September 2024 diluar program, tahapan dan jadwal. Dua dokumen ini selanjutnya digunakan sebagai dasar menetapkan Paslon BTM dan Yermias Bisai sehingga juga sebagai tindakan yang bertentangan dengan perundang-undangan, benernya.
Bambang menegaskan, DKPP adalah lembaga penegak etik perilaku penyelenggara dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang melekat pada jabatannya sehingga Putusan DKPP ini sekaligus mengkonfirmasi adanya penyalahgunaan jabatan oleh komisioner Papua.
“Nah, dalam konteks inilah Putusan DKPP menjadi pintu masuk delik pidana, karena pelanggaran yang dilakukan KPU Papua dan Pihak lainnya, bukan sekedar pelanggaran administrasi dan etik tetapi juga dikualifikasi sebagai pelanggaran pidana pemilihan”, sebut Bambang.
Mantan Wakil Ketua KPK ini selanjutnya menerangkan bahwa delik pidana yang dilakukan komisiner Papua diatur dalam Pasal 180 ayat (2) Undang-undang N0. 10 Tahun 2016 yang pada pokoknya menyatakan; Setiap orang yang karena jabatannya dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum meloloskan calon dan/atau Pasangan Calon yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan denda paling sedikit Rp. 36.000.000.000 dan paling banyak 96.000.000.000”.
Menurut Bambang yang juga ahli Pidana ini, norma di atas sangat jelas dan dari Putusan DKPP terlihat unsur-unsur pelanggaran pidana oleh KPU Papua telah terpenuhi secara sempurna yaitu; unsur menggunakan jabatannya, unsur melawan hukum serta unsur meloloskan calon dan/atau pasangan calon yang tidak memenuhi syarat, Jadi unsur pidananya telah terpenuhi dengan lengkap dan sempurna, tegasnya lagi.
Menurut BW sapaan akrabnya, terkait pidana ini bolanya ada di Bawaslu dan Gakkumdu. Bawaslu Papua sejatinya tidak perlu menunggu ada laporan, tetapi seharusnya berinisiatif menjadikan Putusan DKPP sebagai temuan karena inilah ruh dari tugas dan wewenang Bawaslu sebagaimana pengawas pemilihan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bawaslu No. 8 Tahun 2020 atau yang telah diubah dengan Perbawaslu No. 9 Tahun 2024 Tentang Penanganan pelanggaran maupun Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2024 Tentang Pengawasan Dalam Pilkada. Jika Bawasalu bersikap pasif atas Putusan DKPP maka potensial dipersoalkan karena bersikap diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
“Kami mengingatkan agar unsur kepolisian dan kejaksaan dalam Gakkumdu juga harus mengambil peran penting sebagai garda terdepan dalam penanganan pelanggaran pidana, jangan justru keberadaannya menjadi unsur yang melemahkan penegakan hukum, ini bisa merusak kredibilitas kepolisian dan kejaksaan secara institusional” pungkas BW (adn)