Jakarta, Nusantarapos – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat ada peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2019. Pelakunya tak lain merupakan orang terdekat korban.
“Kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah satu kasus yang sangat menghawatirkan sekarang ini. Setiap minggu ada 4 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang lapor ke LPSK. Angkanya mengalami peningkatan signifikan jumlahnya yang meminta perlindungan terhadap LPSK. Ini merupakan puncak gunung es. Yang kami khawatirkan banyak kejadian yang tidak sampai ke LPSK,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi saat jumpa pers di Kantor LPSK Ciracas, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
“32 persen pelaku adalah keluarga inti. Bisa ayah kandung/tiri, kakak, kakek,” lanjutnya.
LPSK mencatat wilayah yang paling tinggi kekerasan seksual terhadap anak tahun 2016 rangking teratas terdapat di Jawa Timur, DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tahun 2017 wilayah terbanyak diduduki oleh Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dan tahun 2018 terbanyak di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat.
Wakil Ketua LPSK Antonius Pasaribu menjelaskan, contoh kasus kekerasan juga tak hanya menimpa anak-anak dan remaja. “Ada fenomena yang tak pernah terungkap. Fenomena hanya ditemui di LPSK bahwa korban kekerasan seksual tak hanya anak dan remaja, tapi balita. Balita juga menjadi kekerasan seksual yang pelakunya keluarga. Ini fenomena apa?,” katanya.
Bahkan kasus kekerasan seksual juga menimpa kaum difabel. “Kadang-kadang korban yang masih anak-anak difabel, nanti menceritakan di pengadilan bagaimana kasusnya? Itu salah satu PR kita bersama untuk menyelesaikan masalah,” terang Antonius Pasaribu.
Maka dari itu, menurutnya lagi, peran Pemerintah Daerah (Pemda) diperlukan untuk membuat kurikulum pendidikan yang mengedukasi anak-anak mengenai pengenalan organ tubuh. Dalam waktu dekat, pemerintah provinsi juga akan melakukan penandatanganan kerjasama pendidikan dengan LPSK.
“Perlu dilakukan edukasi, entah formal atau informal tentang melindungi diri bagian tubuh kita, mata pelajaran di tingkat PAUD, SD, SMP, SMA yang mengajarkan bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Peran Pemda bisa menjadi tulang punggung untuk memasukan kurikulum tadi sebagai muatan lokal,” tandasnya. (RIE)