Oleh : Mr. Kan
Apabila suatu ruang lingkup politik hanya diperbolehkan menyampaikan pendapat sosial politik secara sepihak, maka ruang lingkup tersebut bertentang dengan “asas demokrasi”, terkesan membungkam ruang lingkup sendiri dan pihak lain sehingga akan membodohi ruang lingkup itu sendiri karena tanpa adanya kesimbangan kedua belah pihak maka akan sangat sulit menghasilkan nilai-nilai akhir yang postif dalam menentukan dukungan pilihan politik serta potensi menentukan dukungan politik yang akan mengalami suatu kecerobohan besar.
Kemudian dengan berpolitik secara sepihak, maka akan sangat sulit menghasilkan pemikiran yang jernih secara rasional dan objektif, mudah memperbodoh dan diperbodoh.
Kita ibaratkan di dalam suatu peristiwa hukum dari kepolisian yang ingin melimpahkan dokumen suatu kasus ke Kejaksaan, apakah dapat dilimpahkan apabila alat bukti yang diperoleh hanya secara sepihak? Tentu tidak bisa, karena bagaimana Kejaksaan menguji perkara tersebut, sementara data dan alat bukti hanya adanya sepihak? dan Bagaimana caranya serta berdasarkan alat bukti seperti apa oleh Kejaksaan untuk melimpahkan lagi ke Pengadilan untuk disidangkan dan/atau diuji? Sebetulnya dari contoh yang saya berikan ini dari pihak kepolisian saja sudah tidak akan dapat memproses suatu peristiwa hukum atau perkara apabila tanpa adanya data dan/atau alat bukti yang cukup dari kedua belah pihak.
Saran untuk dan agar masyarakat semakin dewasa dalam berdemokrasi sepatutnya setiap ada ruang lingkup yang berpolitik harus adanya keseimbangan argumentasi, ide pendapat dan sebagainya dari kedua belah pihak dan selalu utamakan pembahasan politik berdasarkan data fakta/faktual/kenyataan, jadi yang diadu adalah data yang bersumber dari kejadian nyata dan secara objektif, jaga selalu untuk tidak saling menyerang subjektif (pribadi/privasi), karena jika sudah menyerang subjektif akan timbul “debat kusir”.
Kita sepatutnya selalu berdiskusi politik dengan mengutamakan kepentingan umum dan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, kebenaran dan keadilan.
Salah satu teori/konsep “Asas demokrasi” adalah setiap orang bebas menyatakan pendapat, bersikap, berkumpul dan berorganisasi, semua ini dilindungi dan dijamin atas dasar pasal 28 dan pasal 27 oleh kostitusi Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang diatur berdasarkan ketentuan UU nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum baik secara lisan maupun tulisan, akan tetapi di dalam ketentuan UU tersebut setiap orang juga wajib menaati UU. Paham berdemokrasi sangat penting untuk menjaga timbulnya perselisihan.
Pengertian dan penjelasan soal debat kusir sebagai berikut di bawah ini:
Pengertian debat kusir menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah debat yang tidak disertai alasan yang masuk akal atau dapat dikatakan debat yang tidak berguna atau tidak ada kesimpulan akhir.
Sedangkan debat memiliki arti pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Kesimpulannya debat kusir adalah perdebatan yang tidak relevan, otomatis juga tidak objektif.
Ciri-ciri tema pihak lawan debat yang mengajak “debat kusir” adalah perdebatan yang membelok dari tema/topik pokok utama ke arah penyerangan subjektif (pribadi/privasi) lawannya dan pada umumnya disertai bahasa-bahasa berupa isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), hasutan, berdasarkan suka atau tidak, kebohongan, rasa kebencian, sudah tidak menggunakan data faktual atau ngawur, berupa berbagai variasi ancaman, mirip gosip-gosipan di perkampungan, memulai mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak sesuai tempat dan tujuan pembahasan dan sebagainya.
Sehingga lawan debatnya juga terpancing emosi dan mengeluarkan cara yang sama dengan kata-kata kasar dan sebagainya juga dan pada akhirnya berpotensi terjadinya perselisihan, pertengkaran, permusuhan hingga terjerat pelanggaran aturan hukum atau UU yang berlaku dan lain sebagainya.
Menurut saya komentar yang isinya “DEBAT KUSIR” adalah ilmu debat yang masih “dangkal” dan “belum cukup dewasa”. Sebab pihak yang suka ngajak “debat kusir” adalah pihak yang kurang menguasai banyak data, logika yang masih sempit, dangkal dan kurang mampu menguasai kecerdasan emosi.
Dahulu sebelum saya mulai banyak belajar membaca tentang ilmu hukum dan sosial politik saya berasal dari seseorang yang suka berdebat kusir, namun setelah pernah saya ditegur oleh lawan debat, sejak itu saya mulai sadar dan merasa dewasa, kemudian setiap berdebat saya selalu menjaga jangan sampai terjadi “Debat Kusir”.
Satu lagi dampak “Debat Kusir” akan sangat sulit menghasilkan solusi yang baik dalam pembahasan suatu persoalan.
Perbedaan pandangan politik jangan sampai memutuskan ikatan persaudaraan dan persahabatan kita sesama bangsa Indonesia. Persaudaraan dan persahabatan harus selalu dijaga agar selalu menghasilkan nilai-nilai yang positif yang bernilai kebenaran dan keadilan.
Perlu kita sadari seseorang yang berpolitik dalam pepatah China kuno bagaikan kehidupan manusia yang ada di dalam gambar “Yin Yang” atau “Pak kwa” dalam bahasa Indonesia diartikan gambar sebuah lingkaran “segi delapan” yang di tengah-tengahnya gambar dibatasi oleh huruf ‘S’ dan di dalam lingkaran terdapat dua sisi, satu sisi terlihat hampir semuanya warna putih namun di tengahnya ada titik hitam di satu sisi lagi atau sebelahnya hampir semuanya terlihat warna hitam namun di tengahnya ada titik putih yang memiliki arti “seputih-putihnya orang tetap ada titik hitamnya sebaliknya sehitam-hitamnya orang tetap ada putihnya”.