Jakarta, Nusantarapos – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sejak tahun 2015 menangani 318 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 215 diantaranya adalah perempuan dan 53 anak.
Korban TPPO umumnya bekerja di sektor domestik, seperti Pembantu Rumah Tangga dengan modus ikatan perkawinan, sektor bisnis seperti bekerja sebagai pelayan restoran/Anak Buah Kapal dan sektor hiburan seperti PSK dan bekerja di panti pijat.
“Korban tidak punya hak pribadi, dia dianggap properti oleh pemiliknya. Masa kerjanya tidak jelas, kalau orang 8 jam dia bisa 24 jam. Bahkan gajinya juga tidak dibayarkan,” ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi saat jumpa pers di Kantor LPSK Ciracas, Jakarta Timur, Senin (5/8/2019).
Berdasarkan catatan LPSK, faktor ekonomi menjadi faktor dominan para korban TPPO, serta tidak terlepas dari faktor pendidikan seperti putus sekolah. Para pelaku TPPO melakukan upaya pendekatan, seperti menjanjikan upah tinggi, dan memberi pinjaman kepada keluarga korban (jeratan hutang).
Di Indonesia, daerah domisili korban TPPO tertinggi ada lima provinsi, yaitu Jawa Barat (118 korban), NTB (42 korban), Jawa Tengah (32 korban), NTT (27 korban), dan Banten (16 korban). Data ini diambil berdasarkan laporan permohonan korban yang masuk ke LPSK.
Sedangkan negara tujuan terbesar TPPO antara lain Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan, dan Turki. Fakta menarik, daerah ini juga menyasar ke negara konflik seperti Suriah dan Sudan.
Dan dari tahun 2015-2018, LPSK telah mengajukan penggantian restitusi (ganti rugi) korban ke pengadilan sebesar Rp 15 Miliar. Namun yang diputuskan hanya Rp 5 Miliar.
“Dari Rp 5 Miliar (putusan pengadilan), terpidana hanya mampu merealisasikan restitusi hampir Rp 1 Miliar,” terang Wakil Ketua LPSK Antonius Wibowo.
Maka dari itu, LPSK merekomendasikan agar narapidana TPPO tidak mendapat remisi (pengurangan hukuman) sebelum uang restitusinya dilunasi.
“Kalau pelaku human trafficking tidak mau membayar restitusi, maka pelaku jangan diberikan remisi,” kata Edwin Partogi. (RIE)