Maluku, nusantarapos.co.id – Tindakan pemberhentian/pembekuan Tim Seleksi (Timsel) Calon Anggota KPU Maluku Periode 2019 – 2024 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 282/PP.06-Kps/05/KPU/1/2019 Tentang Pemberhentian TIMSEL yang terdiri dari Muhdar Yan Lua, Farida Mony, Normawaty, Sherlock Halmes Lekipiouw dan Anderson Parinussa, bertanggal 30 Januari 2019 yang ditindaklanjuti dengan Surat KPU RI No.220 bertanggal 1 Februari 2019 Perihal Pemberitahuan.
“Peristiwa ini jika dilihat dari sudut optik hukum tata negara dan hukum administrasi negara, maka secara akademik cenderung bermasalah, artinya langkah dan tindakan KPU RI adalah inkonstitusional serta berpotensi melabrak/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” demikian dikatakan Praktisi Hukum Tata Negara Fahri Bachmid melalui siaran persnya, Senin (11/2/2019) malam.
Lanjut Fahri, bukan saja dari sisi struktur serta hirarkis peraturan perundang-undangan, tetapi lebih jauh daripada itu adalah pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Khususnya calon – calon anggota KPU Provinsi Maluku dan Kabupaten/Kota Se-maluku Periode 2019 – 2024 yang sudah dinyatakan lulus sampai pada tahan 10 besar. Artinya sejauh ini produk dari Timsel sampai dengan menghasilkan calon-calon anggota KPU Maluku dan Kab/Kota sudah berjalan sangat partisipatoris, akuntabel, transparan serta kredible dan menghasilkan putra/putri terbaik Maluku sampai 10 besar saat ini harus terbajak hak mereka untuk melangkah ke tahapan selanjutnya karena kebijakan (Beleeid) KPU RI yang cenderung bermasalah itu.
Tindakan tidak prosudural yang diambil oleh KPU RI ini harus dilihat dan di identifikasi dalam beberapa isu hukum : Pertama , Bahwa ada kecenderungan pemaksaan kehendak dari KPU RI secara institusional sepanjang menyangkut dengan hasil test dengan mengunakan metode Computer Assisted Test (CAT) sebagaimana diatur dalam norma ketentuan pasal 21 ayat (6), (7),(8), dan (9) PKPU No.7 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan PKPU No.27 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 7 Tahun 2018 Tentang Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang mana secara hukum tidak ada norma perintah untuk mengakomodir syarat lulus metode (CAT) adalah 60.
Sehingga Timsel tetap mengacu pada perintah ketentuan pasal 21 ayat (6) PKPU No 7 Tahun 2018 yang menegaskan bahwa Tim Seleksi menetapkan calon anggota yang lulus tes tertulis dengan metode CAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sejumlah : Paling banyak 7 (tujuh) kali dari jumlah calon anggota KPU Provinsi yang dibutuhkan, syarat serta ketentuan pasal 21 ayat (6) PKPU No.7 Tahun 2018 secara hukum adalah “Expresiv Verbise” sehingga wajib dilaksanakan oleh Timsel. Timsel tidak dapat dipersalahkan untuk itu, dan sebaliknya di dalam PKPU No. 7 Tahun 2018 maupun PKPU No. 27 Tahun 2018 sama sekali tidak ada kewajiban hukum untuk memenuhi ambang batas hasil CAT adalah 60, jadi ada semacam kelemahan sistemik secara regulasi yang dibuat oleh KPU RI.
“Pertanyaan mendasar adalah kenapa KPU dalam membuat regulasi yaitu PKPU No.7/2018 maupun PKPU No.27/2018 tidak mengakomodasi ketentuan serta kewajiban seperti itu,? Kenapa norma hasil CAT 60 tidak diatur dalam kedua instrumen hukum tersebut,? Sehingga tidak membingunkan perangkat teknis seperti Timsel dalam melakukan tugas serta kewenangannya. Ini perangkat regulasi yang dibuat oleh KPU RI adalah sangat multitafsir semua, bahkan sering banyaknya regulasi yang dibuat oleh KPU RI sehingga telah terjadi “hyper regulasi” dengan berbagai aturan teknis dan yang pada ahirnya adalah banyaknya aturan KPU yang bertabrakan serta bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,ini adalah sebuah gejala yang berbahaya dan tidak sehat,” katanya.
Yang kedua, sambung Fahri, dilihat dari sudut pandang hukum tata negara serta prinsip peraturan perundang-undangan, ada masalah serius yang dibuat oleh KPU RI. Kami melihat bahwa dalam pembentukan aturan hukum (PKPU), khususnya PKPU No. 2 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas PKPU No. 7 Tahun 2018 Tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi Dan KPU Kab/Kota adalah bermasalah secara hukum dan berpotensi melanggar undang-undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan. Ketika kita mengidentifikasi secara hukum maka,salah satu “Ratio Legis”dibalik lahirnya PKPU No. 2/2019 adalah untuk menampung dan mengakomodasi beberapa hal serta peristiwa yang terjadi yang tidak ada jalan keluarnya, atau kekosongam norma didalam PKPU No. 7/2018 maupun PKPU No. 27/2018.
Semisal penentuan kewajiban hukum ambang batas CAT 60 yang sebelumnya tidak ada, serta tindakan kepada Timsel, keadaan keadaan hukum ini kemudian mencoba KPU atur kembali melalui PKPU No. 2/2019 saat ini, tetapi yang aneh adalah PKPU No. 2/2019 ini dibuat untuk menjawab permasalahan serta kekuarangan yang terjadi pada tahun 2018. Jadi ada kesengajaan secara institusional KPU RI untuk menggunakan Asas Hukum yang bersifat “Retroaktif” untuk menjangkau apa-apa yang sudah dikerjakan oleh Timsel dibawah PKPU No.7/2018.
Pertanyaan hukum kenapa KPU RI tidak membuat aturan hukum yang sesuai asas “Prospektif” agar terjamin kepastian hukum (Legal Certainty) untuk memperkokoh Rule of Law, jadi jangan suatu entitas semacam Timsel serta calon-calon anggota KPU Provinsi maupun Kab/Kota se-Maluku dirampas serta dibajak hak asasinya atau dihukum dengan mengeluarkan produk hukum yang baru, dan diberlakukan secara surut ke belakang.
Ini berbahaya dan melanggar konstitusi, sehingga secara yuridis dalam sistem hirarki perundang-undangan, norma undang-undang tidak boleh bertentangan dengan norma konstitusi. Jika terdapat norma peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi atau perundang-undangan yang lebih tinggi, maka peraturan tersebut mengandung cacat sejak kelahiranny “In Obtio”, dan harus dibatalkan.”Sehingga dari keseluruhan tindakan KPU tersebut secara legal -konstitusional Timsel serta calon anggota KPU Provinsi dan Kab/Kota se-Maluku dapat men chalens ke Pengadilan,permasalahan ini dapat dibawa kepengadilan untuk mengujinya secara hukum,” tegas Fahri.(Hari.S)