Jakarta, NusantaraPos – Sanksi berupa denda adat sebesar Rp 10 triliun dijatuhkan masyarakat adat Papua kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sanksi ini buntut peristiwa penggeledahan kantor Gubernur Papua Lukas Enembe pada 2 Februari 2017, dan upaya operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang gagal pada 2 Februari 2019 di Hotel Borobudur, Jakarta. Lembaga antirasuah dianggap mencemarkan nama baik dan pembunuhan karakter Enembe. Masyarakat Papua meminta pimpinan KPK mendatangi tanah Papua guna meminta maaf baik kepada Enembe, maupun masyarakat adat.
“KPK berupaya melakukan kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya, KPK harus segera minta maaf jika tidak maka menerima konsekuensinya,” ujar perwakilan Aliansi Pemuda Papua Indonesia (APPI), Otis Iryo ketika berunjuk rasa di depan kantor KPK, Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Dalam aksinya, massa APPI sempat mengirimkan karangan bunga kepada KPK yang bertuliskan ‘KPK Pilih Minta Maaf ke Rakyat Papua atau Bayar Denda 10 T ???’. Menurut Otis KPK telah mempermalukan Gubernur Papua di mata publik, yang padahal Enembe merupakan salah satu kepala suku besar di wilayah hukum adat Papua.
Di Papua, terdapat lima wilayah yang menerapkan hukum adat yakni Ahim Ha, Lapago, Meepago, Mamta dan Saeran. Denda adat biasa diterapkan masyarakat adat Papua untuk menyelesaikan sejumlah masalah seperti pencemaran nama baik, perkawinan, perebutan hak hingga perang suku. Secara konstitusi denda adat diakui yang mengacu Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke- 4.
“Rakyat Papua sangat marah, ini menyangkut harkat, martabat, dan wibawa pemimpin kami yang telah direndahkan oleh KPK,” ucapnya.
Otis menilai, insiden di Hotel Borobudur pada 2 Februari lalu menjadi bukti ketidakprofesionalan KPK. Penyelidik KPK dipandang tak memiliki bukti permulaan yang cukup, sehingga terkesan tindakan yang diambil bermuatan politis. KPK, kata dia, seharusnya bisa betul-betul membuktikan pemberantasan korupsi secara profesional, adil, serta tak mengkriminalisasi pihak-pihak tertentu.
“Jangan-jangan ada udang di balik batu sehingga ada aroma politis saat melakukan operasi tersebut. Kami ingatkan agar KPK tidak macam-macam, jangan jadi corong politik dengan melakukan pembunuhan karakter,” tandas Otis. (RK)