Jakarta, Nusantarapos – Pemerintah Indonesia telah menetapkan pandemi Covid-19 menjadi bencana nasional. Membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 merupakan salah satu kebijakan guna menangani berbagai masalah akibat Covid-19, mulai dari penanganan pasien hingga dampak ekonomi dan sosial.
Kebijakan komprehensif Pemerintah nampaknya masih menuai kritik bahkan resistensi dari berbagai elemen masyarakat yang cenderung menuntut Pemerintah lebih tegas dalam menyikapi ancaman serius lain, yaitu radikalisme.
Dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan beralihnya fokus aparat keamanan sangat berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan anti Pemerintah untuk memperburuk situasi dan kondisi.
Kesibukan bangsa menangani Covid-19 dijadikan peluang bagi gerakan radikalisme membangun dan memperkuat sentimen negatif atau ketidakpercayaan publik kepada pemerintah, serta menebar berita-berita hoax terkait kegagalan negara dalam penanganan Covid-19. Di tengah wabah Covid-19, masyarakat dan pemerintah harus bersatu dan bekerja bersama untuk segera menangani ancaman penyebaran dan dampak-dampaknya. Oleh karena itu, diadakan dialog interaktif (talkshow) di PRFM untuk membahas hal tersebut.
Peneliti Senior Badan Litbang Kementerian Agama, Dr. Abdul Jamil Wahab mengatakan motif gerakan terorisme adalah motif keagamaan dan balas dendam. Mereka akan terus berjuang sampai sistem khilafah islamiyah berhasil mereka dapatkan.
“Ada hal yang dilematis, media menjadi partner bagi radikalisme, karena secara tidak langsung, media justru memberikan promosi bagi mereka. Berita terkait radikalisme menjadi marketable. Sebagai contoh, ada pemakaman dua terduga terorisme, hal itu diberitakan sangat luas. Dalam perspektif terorisme, ini bisa menjadi sesuatu yang kontraproduktif. Jangan sampai orang yang mati ditembak karena diduga teroris dianggap menjadi mati sjahid,” jelasnya, Rabu (22/4/2020).
Karena, agama tidak mungkin mengajarkan kekerasan. Apalagi, ada video yang baru beredar terkait penembakan aparat keamanan dengan sengaja. Media perlu mengimbangi informasi-informasi yang sifatnya propaganda dari kaum radikalis seperti itu.
“Dalam kasus terorisme di Tambora, Jakarta Barat misalnya, penangkapan berawal dari kesigapan masyarakat. Kewaspadaan harus dilanjutkan dalam masa pandemi ini. Narasi-narasi yang sifatnya mencerahkan dan membantu masyarakat, harus terus dilakukan,” tambahnya.
Senada dengan Jamil, Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan menganggap terkait radikalisme, mereka dengan adanya pandemi covid ini tetap bergerak. Mereka memojokkan pemerintah bahwa pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman.
“Ujungnya mereka mengatakan penanganan covid ini salah karena negara tidak menganut sistem khilafah. Ini adalah hal yang tidak pantas. Banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak Islam, seperti tidak boleh jumatan dan tarawih. Padahal, ini maksudnya baik. Sudah lihat beberapa saudara kita yang terkena positif covid19 karena Sholat Jumat,” jelas pria yang pernah menjadi komandan Negara Islam Indonesia ini.
Dalam situasi covid19 ini, mereka menganggapnya seperti peristiwa perang, sama seperti pemilu kemarin, dimana narasi-narasi cebong dan kampret muncul kembali. Terlebih, masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap yang sangat terdampak, ini lebih rentan dihasut oleh kelompok teroris untuk memperkeruh suasana.
“Menghimbau kepada aparat agar meningkatkan pengawasan, dimana pada bulan Ramadhan, mereka menganggap amaliyah seperti pengeboman maupun tindakan kekerasan kepada aparat akan mendapat pahala yang lebih besar,” ucapnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Pengamat Terorisme dari UI, Aisha Kusumasomantri, S.Sos, MA, mengatakan negara ini tengah mengalokasikan segala sumber daya untuk menangani covid-19.
“Dalam hal ini, memang ada peluang kelompok radikal untuk mengkritisi pemerintah, khususnya dalam penanganan PSBB oleh pemerintah. Ini berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan kepada pemerintah. Meskipun ada pandemi ini, bahaya radikalisme tidak hilang, walaupun tidak melalui pertemuan-pertemuan tradisional, tapi melalui chatting melalui media-media sosial,” ucap dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini.
Mereka bilang bahwa peniadaan bentuk-bentuk kegiatan ibadah merupakan bentuk represi kepada Islam. Padahal, itu adalah bentuk pencegahan penyebarran covid-19 dari pemerintah. Covid-19 ini mempengaruhi pertahanan negara ini. Seperti persenjataan, intelijen, dll, dimana contohnya mobil jihandak yang dipakai untuk penyemprotan disinfektan. Ini yang kemudian mereka manfaatkan. Dalam negara demokrasi ini, kita tidak bisa mengontrol media. Perkembangan teknologi informasi yang sedang terjadi. Masyarakat Indonesia menggunakan sosial media dalam berkomunikasi sehari-hari.
“Kita masuk dalam _paradox of the plenty_. Dimana semakin banyak informasi yang kita terima, semakin kita bingung mana informasi yang bisa dipercaya. Hal ini yang dimanfaatkan para kelompok ini. Mereka bisa menyebarkan ketakutan di masyarakat, dimana ini peralihan dari penyebaran ketakutan yang sebelumnya mereka melakukan _fear bombing_,” tambahnya.
Pemulangan WNI-WNI karena corona bisa juga menjadi salah satu penyebarran ideologi. Ini bisa dimanfaatkan oleh jaringan _foreign terorrist fighter_, dimana pemerintah saat ini masih sibuk, mereka pulang untuk menyebarkan ideologinya.
“Pemerintah juga harus menjelaskan secara detail dengan logika yang dapat dimengerti mengapa kegiatan beribadah harus dibatasi. Karena, masih banyak masjid-masjid maupun gereja di kota Depok yang menyediakan _disinfectan chamber_ (kotak disinfektan) agar tetap bisa beribadah bersama. Padahal, covid19 tetap akan bisa menyebar lewat droplet walaupun sudah lewat kotak tersebut,” tegasnya. (*)