Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Pengacara senior yang juga relawan Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019, C Suhadi, meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan, Kompolnas dan Kadiv Propam untuk memberi perhatian terhadap kasus dugaan penggelapan yang ia laporkan ke Polres Metro Jakarta Pusat pada Agustus 2017 silam.
Sebab kasus dugaan penggelapan uang hasil eksekusi senilai kurang lebih Rp 2,2 miliar yang dilakukan oleh seseorang bernama Kwee Sinto itu, dinilai tak jalan prosesnya di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Kwee Sinto (KS) diduga menggelapkan uang hasil eksekusi milik klien Suhadi, yakni Lim Kwang Yauw dan kakak-adik Denianto Wirawardhana.
Suhadi mengatakan, pada saat itu Terlapor (KS) menerima uang titipan sebesar Rp 5,2 miliar untuk operasional penanganan perkara bukan untuk diberikan kepada dia secara cuma-cuma. Seiring berjalannya waktu sebagian uang memang telah digunakan sebagaimana mestinya, namun ada sisa uang kurang lebih sekitar Rp 2,2 miliar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga saya putuskan untuk membuat laporan ke Polres Jakarta Pusat.
“Lalu laporan saya pun sudah sampai pada tingkat gelar perkara hingga KS telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh penyidik kepolisian. Kemudian perkara di limpahkan ke Kejari Jakarta Pusat. Setelah itu perkara diterima dan JPU telah memberi petunjuk P19 dan penyidik telah melengkapi petunjuk lalu berkas kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan kembali. Melihat waktu yang cukup lama dari JPU ke penyidik, idealnya perkara sudah P-21,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis (30/4/2020).
“Setelah perkara dilimpahkan kembali dari Penyidik ke Kejaksaan, saya sebagai Pelapor hingga bulan April 2020 belum mendapat kejelasan atas kasus tersebut karena sepertinya perkara tidak berjalan sebagaimana mestinya,” kata dia.
Suhadi semakin mempertanyakan penanganan kasus ini, terutama saat ia mendapat informasi dari jaksa penuntut umum (JPU) pengganti, bahwa ranah kasus berubah dari sengketa pidana ke perdata. Hal ini dilakukan mengacu keterangan ahli saat pemeriksaan di kepolisian, padahal dari hasil gelar perkara di Polres dengan melibatkan Polda, Ahli telah diabaikan karena cenderung seperti telah diarahkan, sehingga yang dipakai adalah hasil gelar. Dan hasil gelar juga yang dijadikan pegangan oleh Jaksa waktu berkas dilimpahkan oleh penyidik, terbukti dengan petunjuk yang pertama,” ujarnya
“Bahwa menjadi aneh kemudian keterangan ahli dimunculkan di tengah perkara yang menjelang P-21, dan anehnya lagi secara serta-merta JPU menerima keterangan ahli di tengah perkara yang sudah diberi petunjuk,” tuturnya.
Menurut Suhadi, alasan pengalihan perkara ini menjadi ranah perdata menjadi aneh karena menurut UU Kejaksaan Jaksa pengganti tidak boleh membuat petunjuk baru, karena pada prinsipnya Jaksa itu satu. Karena Jaksa itu satu jadi apa yang sudah diberikan petunjuk, maka Jaksa pengganti harus mengikuti petunjuk yang ada dan kalau masih dirasa kurang Jaksa dapat mengembangkan hasil petunjuk tadi, bukan mengeluarkan petunjuk baru.”Ini salah, dan saya keberatan makanya saya akan laporkan ke atasannya agar ada tindakan yang setimpal,” ujarnya.
Selain keanehan pada Jaksa pengganti, Suhadi pun merasa aneh dengan ulah penyidk karena perkara sudah sekian lama berproses dan sudah ada TSK serta telah di limpahkan ke Kejaksaan kok ada SPDP baru yang dikeluarkan, dan SPDP baru tersebut dikeluarkan pada tanggal 6 Desember 2019. Sehingga dengan adanya perubahan itu saya menduga ada pelanggaran yang dilakukan oleh Penyidk maupun Jaksa, ada apa ? Apa ada tujuan lain, saya engga tahu. Cuma setahu saya sebagai mana dokumen SP2HP dari penyidik tanggal 15 Maret 2019 dalam berkas perkara tidak ada ahli disitu.”Jadi SPDP apa dalam rangka memasukan Ahli. Kan perkara jadi rancu,” jelasnya
“Di dalam undang-undang Kejaksaan Tahun 2004 pasal 2 ayat 3 itu mengatakan bahwa Jaksa itu prinsipnya satu. Jadi antara jaksa satu dengan jaksa lainnya harus selaras, jika yang satu ngomongnya A maka warnanya pun harusnya A dan jika berubah dipastikan ada pelanggaran,” ujarnya
Suhadi mengungkapkan dengan melihat dua korelasi masalah tersebut saya mencium ada aroma yang tidak sehat dalam penyelesaian kasus kami, sehingga secara otomotis ini merugikan saya sebagai pelapor. Untuk itu saya meminta kepada aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung dan Polri agar perkara ini diberikan perlindungan hukum dan menindak oknum yang bermain main dengan kebenaran.
“Kepada Jamwas dan Kadiv Propam Mabes Polri turut memberikan atensi dan menindak jajarannya yang diduga tidak profesional dalam menjalankan tugas,” ungkapnya.
Suhadi pun bersurat ke Kompolnas guna mengutarakan seluruh keluhannya ini. Surat tersebut ditembuskan juga ke Jaksa Agung, Kapolri hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Maka berdasarkan uraian di atas saya mohon kepada Bapak Jakaa Agung Muda bid Pengawasan RI dan juga Bapak Kadiv Propam Mabes Polri untuk menindaklanjuti laporan ini,” tandas Ketua Umum Relawan Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) dan tim hukum Aliansi Relawan Jokowi (ARJ) ini.