BISNIS  

GINSI : Pertanyakan Perbedaan Data Antara KPPI dan BPS Dalam Import Karpet

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) beberapa waktu lalu, 10 Juli 2020 mengadakan dengar pendapat (Public Hearing) dalam rangka dimulainya penyelidikan tindakan pengamanan perdagangan terhadap impor barang karpet dan penutup lantai tekstil lainnya.

Terkait hal tersebut Gabungan Importir Seluruh Indonesia (GINSI) memberikan tanggapan melalui Ketua Umum-nya, Anthon Sihombing.

Menurut Anthon, berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) barang impor berupa karpet dan penutup lantai tekstil lainnya diklasifikasikan ke dalam Bagian XI (tekstil dan barang tekstil) bab 57 (karpet dan tekstil penutup lantai lainnya) yang terdiri dari 62 (enam puluh dua) nomor Hamonized System (HS) dan barang jadi (bukan barang baku).

Terdapat perbedaan data impor barang karpet dan penutup lantai tekstil lainnya antara bukti awal permohonan yang disampaikan oleh KPPI dengan data pada Badan Pusat Statistik yang diakses melalui sumber: https://www.bps.go.id pada 23 Juli 2020.

‘’Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang kami dapatkan, indikasi lonjakan impor barang karpet dan penutup lantai tekstil lainnya sebesar 14,82% selama periode 2017 s.d 2019,’’ ungkap Anthon melalui siaran pers, Minggu (13/9/2020).

Dia melanjutkan, dalam Permendag 77 Pasal 4, untuk importir yang memiliki Nomor Izin Berusaha (NIB) sebagai Alat Pengenal Impor Umum (API-U) yang akan melakukan importasi barang berupa karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, maka harus mendapatkan izin berupa Persetujuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (PI-TPT) dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.

Dimana persyaratan untuk memperolah PI-TPT yaitu sebagai berikut:
1. NIB yang berlaku sebagai API-U.
2. Rencana distribusi atas TPT yang akan diimpor untuk memenuhi kebutuhan industri kecil dan menengah; dan
3. Izin Usaha Mikro Kecil/Izin Usaha Industri atau izin usaha lain yang sejenis milik industri kecil dan menengah yang terdaftar di Kementerian Perindustrian.

Dengan berlakunya Permendag 77, maka importir pemilik API-U tidak memungkinkan untuk memperoleh PI-TPT, dikarenakan berdasarkan hasil koordinasi antara GINSI dan Kementerian Perindustrian.

‘’Sehingga tidak relevan apabila barang tersebut didistribusikan kepada pemegang Izin Usaha Mikro Kecil/Izin Usaha Industri karena bukan merupakan bahan baku untuk diolah lebih lanjut,’’ papar dia.

Anthon menambahkan, dengan berlakunya Permendag 77 berdampak kepada tidak terbitnya izin berupa Laporan Surveyor (LS) oleh Sucofindo atas importasi barang berupa karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, dikarenakan syarat untuk mengajukan LS atas importasi barang tersebut harus melampirkan PI-TPT.

‘’Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan terbitnya Permendag 77, maka atas importasi barang berupa karpet dan penutup lantai tekstil lainnya untuk sementara tidak perlu dikenakan tindakan pengamanan perdagangan (safeguards),’’ ungkapnya.

Lanjut Anthon, pada Permendag Nomor 77 Tahun 2019 menyebutkan bahwa barang jadi siap jual adalah sebagai berikut sajadah yang dipergunakan untuk sholat dan karpet yang dipergunakan untuk perhotelan ataupun ibadah di rumah.

“Dalam peraturan itu terdapat masalah yakni Alat Pengenal Impor Umum (API-U) tidak bisa mendapatkan kuota, kecuali Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) yang telah bekerjasama dengan UKM, kendalanya ada pada Kementerian Perindustrian. Selain itu terjadi kejanggalan barang jadi dan siap jual, kenapa harus diolah kembali ? Sehingga melanggar aturan yang telah diterapkan oleh WHO,” ucap mantan anggota komisi IV DPR RI itu.

Maka dari itu, sambung Anthon, solusinya andai produk lokal tidak bisa bersaing kenapa tidak dibebankan saja bea masuk sebesar 40% dan jika perlu Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS).

“Karena imbas / efek negatif dengan adanya Permendag tersebut yang sudah berlaku mulai Januari 2020 telah terjadi kelangkaan barang dan nilai jual eceran 2 – 3 kali lipat mengalami kenaikan. Sehingga beban biaya lebih tinggi yang dirasakan oleh masyarakat/pengguna,” paparnya.

Menurut Anthon, adanya produk impor ini dikarenakan produk lokal tidak memenuhi kebutuhan domestik. Dan barang impor juga hanya sebagai pelengkap karena berbeda harga dan kualitas dibandingkan dengan produk lokal, namun tidak akan saling ganggu karena pengguna (konsumen) memiliki selera masing-masing.

“Di dalam impor sajadah ini kami juga menghimbau kepada pihak yang berkompeten agar tidak menjadikan impor sajadah atau karpet ini hanya dikuasai oleh orang tertentu saja. Karena di lapangan ada indikasi bahwa impor barang tersebut dijadikan kartel, sehingga menyulitkan importir kecil sulit untuk berkembang,” katanya.

Pada kesempatan ini, Anthon meminta kepada Ditjen Daglu Kementerian Perdagangan ketika membuat wacana aturan untuk selalu melibatkan GINSI sebagai jembatan kepada para importir yang tergabung di GINSI.”Karena selain sebagai mitra pemerintah, ajaklah kami dalam setiap membuat regulasi/peraturan baru yang akan diterbitkan, bagaimanapun GINSI ini adalah gabungan dari para importir di Indonesia,” katanya.

“Semua kebijakan pembatasan kuota impor memang sepenuhnya ada di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Ditjen Daglu), namun GINSI siap menjadi mediator para importir yang kekurangan kuota impor,” tegas politikus senior tersebut.