DESA  

Bersih Desa Arjowinangun Kab. Pacitan Berjalan Khidmad

PACITAN, NUSANTARAPOS, – Hari ini Jum’at (24/6/2022) warga Desa Arjowinangun Kec. Pacitan Kab. Pacitan mengadakan “Bersih Desa” dengan melibatkan warga membawa tumpeng. Kegiatan diniatkan bersih desa pada umumnya termasuk bersih batiniah.

Bersih desa secara batin tentu membersihkan hati dari pribadi masing – masing. Acara diawali pada malam Jum’at legi dengan membaca surat yasin digedung balai desa yang baru, siangnya pada pukul 13.000 (WIB) usai sholat Jum’at mengumpulkan tumpeng dibawa ke gedung balai Desa lama lalu didoakan bersama, usai didoakan warga membawa pulang kembali dan sebagian makan bersama ditempat.

Menurut Kepala Desa Arjowinangun Rakhman Wijayanto, kegiatan ini hanya mengundang lingkungan warga desa bertempat di gedung Desa Arjowinangun dengan membawa tumpeng, inkung dan sifatnya sukarela.

“Tujuannya bersih desa, ya bersih secara fisik ya bersih secara batiniah, artinya disitu untuk mengingatkan kembali bahwasanya kita perlu menjaga budaya para leluhur dan mendoakan keselamatan warga desa, intinya membangun rasa kebersaman, kegotong royongan, bawa makanan dan dimakan bersama – sama.” ujarnya.

Sementara itu mbah Noto salah satu tokoh Masyarakat dan juga salah satu Ketua PCNU Kab.Pacitan mendukung kegiatan ini, bahwa ‘Bersih Desa’ di Desa Arjowinangun Kec Pacitan, Kab Pacitan dengan istilah seribu tumpeng adalah Pelestarian/ Nguri -uri Adiluhung Nenek Moyang kita.

“Ya kalau menurut NU simpel aja mas wartawan, justru malah mendorong dan mengapresiasi, karena budaya ini memang perlu di lestarikan, wong ini merupakan warisan nenek moyang kita yang perlu di sukuri, dan juga merupakan aset desa atau daerah yang perlu di tumbuh kembangkan sebagai budaya adiluhung di negeri ini dengan bermacam – macam suku dan budaya termasuk di Desa Arjowinangun ini.” katanya.

“Soal ingkung, ambeng, buceng dan sebagainya, itu kan merupakan sedekah, ditambah do’a untuk meminta Pada Tuhan yang maha Esa agar desa ini di beri keselamatan dan di jauhkan dari mala petaka, jadi melihatnya jangan dari makanan yang disajikan, namun meminta keselamatan Kepada Allah dengan bacaan Al Quran (surat Yasin dan Tahlil). Kalau perlu desa – desa/ kelurahan – kelurahan mengadakan diklat mewujudkan ambeng, buceng (mewujudkan makanan, nasi yang dibentuk seperti gunung dan lainnya) apa bahasanya yang enak gitulo untuk menjabarkan ‘buceng, ambeng’ dari segi budaya.” ujar mbah Noto dengan lugunya.

“Kalau ada yg mengatakan syirik musrik dan sebagainya misalnya, biarin aja wong tidak tahu, gitu aja kok repot, kadang saya itu juga heran yang sudah Islam kadang di kafirkan sedangkan yang kafir tidak di Islamkan. “tegasnya.

Namun saat ditanyakan mengapa kok mengambil waktunya jum’at legi, mbah Noto menjelaskan, “Kalau soal mengambil hari jumat legi longkang atau Dzulqokdah, itu kan cuman biar kita mudah mengingatnya , lagi pula nenek moyang dulu mengadakan juga pada hari itu. Kalau selain hari itu sebetulnya juga tidak masalah wong dino wae dan juga apa jeleknya lah, sekaligus hormat atau takdzim pada pendahulu agar ingat sejarah, walau kegiatan ini di desa kususnya dan di Indonesia pada umumnya tetap juga berkat orang terdahulu, kita tinggal meneruskan merawat dan melestarikan perjuangannya.”

Diakhir ucapannya dia mengatakan, “Hidup bermasyarakat tidak usah kaku, yang lentur sajalah. Budaya itu bagian dari aset suatu negara, nanti kalau di ambil orang lain berteriak akibat kita sendiri tidak mau merawat, contoh ‘Reog’ . Gitu aja mas salam budaya, oh ada yang lupa mas kalau melihat sesuatu itu jangan cuman kesingnya aja ya, lihat saja manfaatnya HP, bisa untuk komunikasi kepada siapa yang dituju. ”

WARTAWAN: MUJAHID