Menteri Keuangan: Pemerintah Indonesia Berupaya Atasi Kesenjangan Gender

BALI, NUSANTARAPOS – Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani mengatakan, Pemerintah Indonesia berupaya mengatasi kesenjangan gender melalui berbagai kebijakan yang ditargetkan bagi perempuan dan anak perempuan, salah satunya kredit ultra mikro bagi pelaku usaha. Pasalnya, pandemi Covid-19 menimbulkan scarring effect yang memengaruhi pasar tenaga kerja, termasuk bagi perempuan.

“Scarring effect akan menjadi hambatan yang signifikan untuk mencapai pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif, terutama untuk negara berkembang. Informalitas yang tinggi juga menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia,” ujar Menteri Mulyani dalam Ministerial Conference on Women’s Empowerment (MCWE), secara hybrid, Rabu (24/8/2022).

Mulyani mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pekerja sektor informal di Indonesia meningkat dari 55,8 persen pada 2019 menjadi 60,5 persen pada 2020. Hal ini menyebabkan berbagai masalah ekonomi dan berdampak pada penerimaan pajak Indonesia.

“Selain itu, para pekerja informal pada umumnya lemah dalam hal perlindungan sosial. Di Indonesia, perempuan lebih banyak diasosiasikan dengan pekerjaan informal. Sebesar 63,8 persen perempuan Indonesia bekerja di sektor informal, sedangkan laki-laki hanya sebesar 56,6 persen,” ujar Mulyani.

Tidak hanya itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan juga masih tertinggal dibandingkan laki-laki, yaitu 51,9 persen dibandingkan 83,3 persen.

“Jika kita melihat gap ini, akan ada peluang baru yang hilang dan itu menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang lebih baik bagi perempuan,” tutur Mulyani.

Mulyani melanjutkan, pandemi Covid-19 juga menciptakan masalah lain terkait kesenjangan gender, terlebih pandemi berdampak lebih besar terhadap perempuan. Selama krisis ekonomi, tenaga kerja perempuan terkena dampak secara tidak proporsional, terutama perempuan yang bekerja di sektor informal. Perempuan mengalami beban tambahan karena harus bekerja di rumah, khususnya karena adanya norma gender untuk perawatan keluarga.

President National Institute for Women Mexico, Nadine Flora Gasman Zylberman mengapresiasi upaya Presidensi G20 Indonesia dalam mempromosikan kesetaraan gender dan hak perempuan. Dalam diskusi tersebut, Nadine mengatakan, di Meksiko perempuan juga melakukan pekerjaan perawatan lebih sering dibandingkan laki-laki, yaitu sekitar 39 jam per minggu, sedangkan laki-laki sekitar 14 jam per minggu.

“Kita harus mengakui pekerjaan perawatan memiliki nilai ekonomi untuk bisa memberikan kesetaraan yang lebih besar,” ucap Nadine.

Senior Specialist, Gender, Equality, and Non-Discrimination at Work International Labour Organization (ILO), Joni Simpson menyampaikan empat pesan kebijakan, yaitu (1). Investasi publik dalam pengasuhan anak dan layanan pengasuhan jangka panjang akan menghasilkan pekerjaan yang layak, mendukung ekonomi, memungkinkan perempuan untuk tetap bekerja, serta meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan transformatif gender; (2). Kebijakan cuti perawatan dan layanan perawatan diperlukan; (3). Kebijakan yang ramah keluarga dan pengaturan waktu kerja yang fleksibel mendukung kebutuhan pekerja yang memiliki tanggung jawab keluarga; dan (4). Pekerjaan yang layak dan perwakilan pekerja perawatan menghasilkan siklus yang baik untuk layanan berkualitas dan menjunjung tinggi hak-hak tenaga kerja yang mendasar bagi penerima manfaat perawatan. (Guffe).