HUKUM  

Kuasa Hukum Mantan Wakabareskrim Pertanyakan Penahanan Tidak Melalui Proses BAP

Mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabareskrim) Polri, Irjen Pol (Purn) Johny M Samosir berfoto bersama tim kuasa hukum usai menjalani sidang perdana di Psngadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabareskrim) Polri, Irjen Pol (Purn) Johny M Samosir, hari ini, Kamis, 9 Maret 2022 menjalani sidang perdana (Pembacaan Surat Dakwaan) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Johny sendiri ditetapkan sebagai terdakwa oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat yang setelah itu dilakukan penahanan pada 1 Maret 2023 dengan tuduhan melakukan tindak pidana penggelapan dan melanggar pasal 372 KUHP.

Surat perintah penahanan mantan Wakabareskrim itu diterbitkan atas berkas perkara dari penyidik Bareskrim Polri No. BPBP/49/VI/2021 Dittipidum tanggal 25 Juni 2021.

Pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara tersebut ditahan sebagai Direktur PT Konawe Putra Propertindo setelah dikhawatirkan akan melarikan diri.

PT Konawe Putra Propertindo sendiri diketahui adalah perusahaan pembangun dan perintis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

PT tersebut diundang oleh Pemerintah Kabupaten Konawe untuk berinvestasi dalam pembangunan kawasan industri di atas lahan 5.500 Hektar.

Namun, ditengah jalan Johny M Samosir dilaporkan ke Bareskrim Polri sebagaimana tertuang dalam laporan polisi nomor: LP/B/1063/XII/Bareskrim atas nama pelapor Davin Pramasdita dengan tudingan melakukan tindak pidana penggelapan asli 64 sertifikat.

Kuasa hukum Johny M Samosir, Gunawan Raka merasa heran dengan penetapan tersangka kemudian dijadikan terdakwa yang dilakukan terhadap kliennya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Jakarta Pusat.

“Dia (Johny M Samosir) ditetapkan sebagai tersangka oleh JPU yang mana sudah P21 terus dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. Masalahnya, dalam proses ‘Penyidikan’ biasanya dilalui penyelidikan, penyidikan, baru proses penuntutan,” ungkap Gunawan Raka kepada wartawan setelah sidang perdana, di PN Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2023).

“Selama proses penyidikan klien kami tidak pernah di BAP dan dimintai keterangan, padahal keterangan terdakwa itu adalah mutlak yang menjadi syarat untuk perkara dilanjutkan ke tahap penuntutan,” sambungnya.

Gunawan melanjutkan, dalam proses pra penuntutan, harus ada koordinasi antara penyidik dan JPU yang mana hal itu diatur dalam UU KUHPidana dan UU Kejaksaan. Kata dia, itu salah satu untuk kelengkapan berkas yang mengatur hak-hak tersangka mengajukan saksi yang meringankan.

“Merujuk kepada si tersangka tidak pernah di BAP bagaimana dia mengajukan saksi yang meringankan? Karena jaksa tidak memberikan itu dalam bentuk P19 kepada penyidik. Itu dilakukan untuk melindungi hak-hak tersangka dalam melakukan pembelaan atas dugaan tuntutan yang disangkakan kepada dirinya,” jelas Gunawan.

Dalam sudut hukum acara, menurutnya hal itu disebut cacat formal. Dimana dalam proses penahanan, meskipun proses ini penyidikan, penuntutan, dan seterusnya pada saat penyidikan tersangka tidak pernah ditahan.

“Artinya apa? Merujuk pasal 21 KUHAP penyidik mempunyai keyakinan tersangka tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, tidak mengulangi tindak pidana, dan tidak mempersulit proses persidangan. Kenapa, pada tahap P21 (pelimpahan) jaksa langsung melakukan penahanan. Dalam pertimbangan KUHAP itu tidak masuk semua, ini merupakan pertimbangan subjektif dari JPU,” tegas Gunawan.

Masih Gunawan, substansi perkara Johny M Samosir sendiri terjadi pada periode tahun 2015 sampai 2018. Pada saat itu Johny masih Wakabareskrim era Budi waseso menjabat Kabareskrim Polri.

Dalam subtansi perkara, kata Gunawan adalah perkara surat. Surat yang dimaksudkan oleh pelapor itu sendiri yang mana mereka mengetahui itu tidak ada pada Johny. Melainkan ada pada tersangka (Huang Zuochao, Direktur Perusahaan PT Konawe Putra Propertindo) yang sudah di red notice (DPO).

“Karena sebelum peristiwa ini terjadi, klien kami memerintahkan Wakil Direktur atas nama Eddy Wijaya untuk membuat laporan di Polda Sultra. Dengan nomor laporan yang teregistrasi dengan nomor: LP/281/VI/2019/SPKT Polda Sultra tertanggal 20 Juni 2019. Namun, laporannya mandek saat ingin dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sultra. Lalu, perkara itu di ‘take over’ oleh Bareskrim Polri yang mana perkara itu dihentikan,” tegasnya.

Surat sertifikat yang berjumlah 64 tadi, kata Gunawan dibawa tersangka ke luar negeri (RRT). Setelah itu muncul laporan yang menjadi acuan pelapor melaporkan Johny M Samosir melakukan dugaan penggelapan surat dengan pasal 372 KUHPidana.

Dia menilai, tuntutan JPU Kejari Jakarta Pusat terhadap Johny M Samosir terdapat keganjilan, karena tidak melalui proses BAP.

“Poses hukum ada namanya tempos delik dan fokus delik. Nah, klien kami ditetapkan sebagai tersangka saat proses BAP yang penuh keganjilan,” tutur Gunawan.

Gunawan menjelaskan sebelumnya ada laporan KPP di Polda Sultra yang ditarik ke Mabes Polri atas dugaan penggelapan oleh Direksi lama (WNA) sebelum Johny, kemudian dihentikan (SP3) oleh Bareskrim.

“Selanjutnya ada laporan balik kepada Johny selalu Dirut KPP yang baru dengan tuduhan pasal 372 KUHP tentang penggelapan atas 64 sertipikat tanah yang faktanya telah dibawa lari oleh Tersangka Huang Zuochao dkk (direksi lama) KPP, dimana perkaranya telah dihentikan (SP3) padahal statusnya sudah DPO dan red notice karena melarikan diri ke China,” pungkasnya.