Klaim “BPA Free” Kemasan Non Polikarbonat Potensi Bahayakan Konsumen

Zoom "BPA Free" Kemasan Non Polikarbonat Potensi Bahayakan Konsumen (Tangkapan Layar)

JAKARTA, NUSANTARAPOS – Klaim pelabelan “BPA Free” terhadap kemasan yang sama sekali tak menggunakan BPA dalam pembuatan kemasannya berpotensi lebih membahayakan publik atau konsumen.  Selain itu, klaim tersebut terkesan mendiskreditkan produk-produk pangan yang menggunakan kemasan mengandung BPA. Ini benang merah dalam gelar acara diskusi media bertemakan “Perlu Tidaknya Peringatan Zat Kimia Berbahaya di Kemasan Pangan Dicantumkan Pada Label” yang diselenggarakan Orbit Indonesia, Jum’at (17/3/2023).

Nugraha Edhi Suyatma, Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi narasumber memaparkan bahwa Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan sebenarnya sudah jelas-jelas menyebutkan produk-produk yang secara alami tak mengandung suatu bahan, tak boleh mengklaim free dari bahan yang tak dikandungnya. Dicontohkannya, klaim minyak goreng non kolesterol ini tak boleh karena minyak goreng itu pada dasarnya memang tak mengandung kolesterol.

Menurutnya, hal serupa juga tak boleh dilakukan oleh produk kemasan galon sekali pakai yang berbahan PET yang mengklaim kemasannya bebas BPA. “Kenapa? Ya, karena secara alami kemasan PET itu memang tak menggunakan BPA. Mestinya tak boleh pakai klaim Free BPA. Hal itu jika diizinkan, berarti ada dua hal yang akan bertabrakan di Peraturan BPOM yang akan direvisi nantinya,” ujarnya.

Sebagai ahli pangan, Nugraha justru melihat air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan bahan plastik selain polikarbonat dan melabelinya dengan Free BPA, jelas sangat beresiko dan berpotensi lebih membahayakan publik. “Kenapa?, karena kalau semua plastik boleh mencantumkan Free BPA, masyarakat tak mengetahui bahwa pada kemasan tersebut juga ada zat-zat kimia yang lebih beresiko terhadap kesehatan dibandingkan BPA seperti PVC, PS, PET dan melamin, itu semuanya mengandung senyawa berbahaya juga,” ucapnya.

Disebutkan olehnya, PET yang sebenarnya sudah populer dengan kandungan etilen glikol (EG) dan di etilen glikogen (DEG) disinyalir dapat menyebabkan gagal ginjal dan ginjal akut. Selain itu juga ada asetaldehida yang terbentuk saat reaksi proses pembuatan pencetakan film atau kemasan, juga bisa menyebabkan karsinogenik. Ada juga antimon trioksida yang sifatnya bisa karsinogen. Kemudian Phthalate yang toksik pada sistem reproduksi dan endokrin atau hormonal. Juga kemasan berbahan plastik Polystyrene yang banyak dipakai untuk styrofoam, bisa menyebabkan karsinogen bagi manusia.

“Jadi, dapat digambarkan betapa pelabelan Free BPA dari kemasan yang nggak ada BPA-nya itu lebih membahayakan konsumen. Memang betul plastik-plastik ini nggak ada BPA-nya, tetapi ternyata ada senyawa berbahayanya. Zat-zat kimia berbahaya yang ada dalam kemasan itu sebenarnya harus diinformasikan dalam labelnya kepada publik. Bukan malah bangga melabeli kemasannya dengan Free BPA,” tutur Nugraha.

Sementara, Sahid Hadi Peneliti Bisnis dan HAM Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (UII), juga menjadi narasumber di acara ini mengatakan adanya kesan unsur persaingan usaha terhadap pelabelan Free BPA pada kemasan yang tak mengandung BPA seperti galon sekali pakai yang berbahan PET. “Pelabelan seperti ini terkesan tak adil dan sangat menjatuhkan kemasan produk-produk pangan yang mengandung BPA seperti kemasan daur ulang,” ucapnya.

Menurutnya, seharusnya tugas negara yang paling utama adalah untuk memastikan agar usaha air minum dalam kemasan galon itu tak mengganggu kesehatan. AMDK galon itu tak hanya yang galon sekali pakai tapi juga guna ulang yang semua harus diperlakukan secara adil. Jika telah mengetahui bahwa ada banyak macam AMDK galon, negara harus memastikan agar semua jenis kemasan galon itu tak boleh mengganggu kesehatan. Seluruh AMDK galon itu harus diidentifikasi tingkat keberbahayaannya pada kesehatan publik. Jadi, bukan hanya berfokus pada galon guna ulang saja,” ungkapnya.

Terkait pelabelan Free BPA pada galon non polikarbonat ini, Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Independen (AJI), yang juga menjadi pembicara menekankan pentingnya peran media dalam melindungi masyarakat dari kemasan yang membahayakan kesehatan. Menurutnya, tujuan kode etik dan prinsip jurnalisme yang dimuat dalam Undang-Undang Pers adalah untuk kepentingan publik. Jadi, media seharusnya menyajikan informasi-informasi yang sudah valid, terbukti kebenarannya, supaya publik kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan yang tepat.

Menurutnya, media berperan penting dalam memberikan edukasi ke publik. Persoalannya, pengetahuan para awak media itu sering tak mendalam.  Semangat temen-teman media dalam melindungi kesehatan publik itu cukup besar. Hanya saja temen-teman jurnalis atau editor, pemred atau medianya sendiri kurang teredukasi terkait apa yang ditulisnya, termasuk soal zat-zat yang berbahaya dalam kemasan pangan. Perlunya kolaborasi para peneliti dengan media. Hal ini bertujuan agar media memiliki “pisau bedah” yang cukup kuat ketika melihat sebuah persoalan sehingga mereka bisa melihat masalahnya dan disampaikan ke publik dengan benar. Sebaiknya, ada transfer knowledge dari para peneliti terkait zat-zat kimia berbahaya dalam kemasan pangan itu ke media. Hal itu bertujuan agar para media bisa mengemasnya dalam bahasa yang sederhana ke publik dan publik menjadi terlindungi dari zat-zat berbahaya.

Dalam kesempatan ini, Susilo Dwi Hatmanto, Ketua Badan Pengawas Periklanan Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP-P3I) juga sebagai penyaji lebih menyoroti masalah etika dalam beriklan. Menurutnya, dalam etika iklan itu ada yang namanya asas, dimana iklan dan pelaku periklanan harus bersikap jujur, benar dan bertanggung jawab. Iklan produk seharusnya jujur, benar, dan bertanggung jawab. Jangan sampai dimain-mainkan atau ada yang disembunyikan.

“Iklan itu juga tak bisa disembunyikan atau disamarkan. Artinya, tulisan itu harus secara jelas mengidentifikasikan itu adalah iklan. Iklan itu juga tak boleh mendiskreditkan produk pesaing seperti mengklaim free BPA padahal kemasannya tak mengandung BPA. Ini kan jelas-jelas menjatuhkan produk-produk yang mengandung kemasan ber BPA,” pungkasnya. (Guffe)