Dapat Evaluasi Gubernur, APBD Trenggalek Dibahas Banggar dan TAPD

Banggar dan TAPD Gelar Rapat Membahas Tindaklanjut Evaluasi Gubernur

TRENGGALEK, NUSANTARAPOS, – Evaluasi gubernur atas pertanggungjawaban APBD tahun 2022 menjadi fokus tindaklanjut oleh badan anggaran (Banggar) DPRD Trenggalek dalam rapat bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Selasa (15/8/2023).

Agus Cahyono selaku Wakil Ketua DPRD Trenggalek usai rapat menjelaskan bahwa kali ini banggar tengah membahas evaluasi Gubernur terhadap draf raperda pelaksanaan APBD tahun 2022, dimana harus ada tindaklanjut oleh TAPD.

Menurutnya, poin evaluasi tadi seperti tentang perubahan angka, karena ada kelebihan pendapatan dimana pada penetapan APBD perubahan dengan Raperda LPJ APBD berbeda setelah ada tambahan anggaran.

Alhasil ditemukan bahwa sumber permasalahan ada di Gubernur sendiri, karena ada honor dan tunjangan yang bersumber dari APBD provinsi dalam bentuk bantuan keuangan daerah dan masuk di APBD Trenggalek setelah APBD perubahan di putuskan.

“Meskipun secara regulasi memang ada dasar hukum yang memperbolehkan BKK provinsi, dan tinggal menyalurkan saja namun tidak ada pemberitahuan,” ungkapnya.

Disampaikan Agus, meski secara tertib keuangan bahwa APBD setelah di sahkan tidak mungkin ada perubahan angka, namun ini sebagai upaya tindaklanjut beberapa persoalan.

Termasuk juga masalah tentang postur APBD, karena amanah dari undang-undang belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30 persen. Jika DPRD minta di sesuaikan sesuai undang-undang dimana kedepan harus di bawah 30 persen ternyata TAPD belum siap.

Meski ada paksaan, namun demikian juga belum ada argumen yang dapat melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Misal data berapa kebutuhan birokrat serta tenaga kesehatan hingga guru belum bisa di katakan benar-benar valid.

“Dengan data idealnya butuh berapa, kalau memang sudah ada batas minimal namun semua sudah valid data yang ada, berarti bisa jadi sumber permasalahan bukan borosnya belanja, namun transfer DAU kurang,” ucapnya.

Menurut Agus, jika pemda memiliki data valid kebutuhan dan formasi nomenklatur lebih dari 30 persen, namun data ASN pada belanja pegawai di bawah 30 persen belum ada perlu di pertanyakan. Namun TAPD masih belum bisa bicara tegas karena perhitungan dan kebutuhan ideal berapa belum dapat menjawab.

Jika di lihat, gaji dan tunjangan ASN semua sudah ada dasar untuk membayarkan, namun dengan masalah ini bisa jadi sumber data yang masih bermasalah. Karena kenyataannya realisasi perkiraan belanja dari APBD sekitat 60 persen.

“Jika dilihat dari perhitungan, sebenarnya belanja pegawai aman cuman terkait kegiatan saja yang perlu di tekan,” menurut Agus.

Masih menurut Agus, jika data ideal kebutuhan ASN telah muncul batasannya, jika data itu muncul jumlah anggaran bisa di tetapkan. Karena logika penataan secara umum pemberian DAU dari pusat telah diperhitungkan.

Namun juga ada beberapa alasan yang menjadi itu terlihat gemuk yakni, terkait wilayah tetap menjadi acuan. Misal di wilayah kota datar mudah saja dengan meminimalkan sekolah dengan regrouping karena terjangkau.

Namun jika di pelosok desa tidak mungkin dengan adanya regrouping karena jarak itu menjadi problem juga. Maka pemkab harus ada data yang jelas dengan argumentasi yang kuat.

Juga beberapa sumber masalah datang dari pemerintah pusat, misal DAK sebenernya dengan adanya otoritas khusus harusnya dimasukkan pada DAU saja, karena penataan anggaran di wilayah, daerahlah yang paham lebih detail.

“Jadi hasil dari evaluasi gubernur atas APBD tersebut harus di tindaklanjuti segera, maka pembahasan tersebut harus dilakukan,” tutur Agus. (ADV)