HUKUM  

RJ2 dan Tim Hukum Merah Putih Anggap Amicus Curiae Bertentangan dengan Undang-undang

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Tim Hukum Merah Putih, C. Suhadi dengan tegas menolak peradilan dengan model amicus curiae. Dia juga menilai model hukum amicus curiae sangat bertentangan dengan UU.

Diketahui, munculnya amicus curiae diawali oleh kelompok masyarakat utamanya diawali oleh Ibu Megawati Soekarnoputri selaku Ketum PDIP lalu dengan waktu yang singkat amicus cariae merambah kepada para mahasiswa, dosen, guru besar, dan perorangan.

Menurut dia, istilah amicus cariae itu memang sah- sah saja, namun menjadi aneh apabila hal itu telah dijadikan model baru dalam menciptakan hukum baru.

“Karena sistem hukum kita civil law bukan mengadopsi sistem anglo saxon atau sistem hukum yang lainnya,” kata C. Suhadi, Minggu (21/4/2024).

Sejalan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka hal-hal yang berkaitan dengan keberlakuan hukum negara bersama-sama.

Apalagi berkaitan dengan masalah-masalah yang terjadi, seperti perkara sengketa. Itu harus bersumber pada UUD.

“UU dan peraturan di bawahnya sebagai hukum tertulis dan hakim dalam memutus perkara harus bersumber dari alasan-alasan itu,” ujarnya.

Terlebih perihal masalah perkara Pilpres MK telah diberi garis tegas dalam UUD 45 yang telah diamandeman, yaitu terdapat pasal 24 huruf C, yang intinya MK diberi kewenangan Mengadili Perkara Pilpres.

Dan dalam pasal itu juga disebutkan, UUD mempunyai dua turunan UU. Antata lain, UU No. 24 tahun 2003 disebutkan MK diberi kewenangan mengadili perkara pilpres tentang perselisihan hasil pemilu.

“Jadi MK dengan sistem hukum yang dianut di Indonesia yaitu, civil law. Hanya mengadili sengketa pilpres yaitu, tentang perselisihan suara. Bukan mengakomodir kelompok masyarakat dengan cara layaknya peradilan jalanan,” ujarnya.

Sementara itu, Relawan Rumah Juang Jokowi (RJ2) menilai atas dasar alasan di atas masalah amicus curiae yang dijadikan rol model sahabat pengadilan sangatlah tidak tepat.

“Karena UU nya mengenai masalah pemilu dan yang dimaksud Pemilu adalah masalah perselisihan suara, bukan pada deminsi etik, kecurangan, bansos dan lain-lain,” ujar Utje Gustaaf Patty.

Utje menjelaskan wilayah itu bukan wilayah MK akan tetapi di Bawaslu dan DKPP. Hal ini termuat dalam pasal 93 huruf a dan b (1 dan 2 ) UU No. 7 tahun 2017,”

Senada dengan Utje, Yanes Yosua Frans dari RJ2 juga menjelaskan dengan begitu, masalah masalah kecurangan dan etik yang sekarang sedang dalam dan akan dijadikan model dalam bentuk AC.

Lalu MK yang dibidik untuk mengakomodir hal tersebut jelas salah dan atau tidak tepat dari segi sistem civil law yang hanya mengakomodir aturan aturan yang tertulis seperti UU.

“Dan dengan demikian MK bisa saja mendobrak UU Pemilu yang diamatkan dalam UUD 45 dan UU yang telah menjadi hukum positif,” katanya.

Jadi, wilayah amicus curiae (AC) kalaupun mau diberlakukan bukan pada MK akan tetapi wilayah kerja Bawaslu,” ujarnya.

Tim RJ2 lainnya HM Darmizal MS menerangkan belum lama ini juga terdengar kabar dari seorang Profersor di UGM, yang pernyataannya dimuat pada salah satu media online, sang profesor mengatakan bahwa AC oleh Hakim dapat dimasukan dalam Putusan, karena adanya azas hukum ex aequo et bono/ apabila pengadilan tidak sependapat maka mohon putusan yang seadil-adilnya. Makna ( azas ) ini dalam tiap tiap gugatan akan selalu muncul di akhir petitum atau pada bagian penutup.

Dan pandangan ini Kami pastikan salah besar, karena dengan azas itu hakim kekuasaannya menjadi tak terbatas.Karena semangat azas itu terkait dengan apa yang dimohonkan yang sudah ada di dalam Gugatan dan atau Permohonan.

“Misal dalam Gugatan/Permohonan pada bagian salah satu Petitum terdapat tuntutan Rp. 100 M akan tetapi yang dikabulkanhnya 75 M. Demikian juga apabila permintaan (Petitum) ada tujuh permintaan, akan tetapi hakim hanya mengabulkan 5 saja dari 7, dan hanya kaitan itu, karena azasnya hakim tidak boleh menambah kecuali mengurangi,” tuturnya.

Menurut Darmizal, pendapat yang agak ngawur ini sengaja kami kutip, karena rata-rata dari mereka baik itu Profesor, Pengamat dan para Jenderal bukan dalam kontek keilmuan dan kenegarawanan dalam menyikapi persidangan ini. Akan tetapi mereka adalah para pembenci Presiden Jokowi, sehingga konsepnya bukan menegakkan hukum atau menjadi negarawan, namun mereka kompak bagaimana kelompok itu hendak menjatuhkan Presiden Jokowi yang secara sah masih berkuasa.

“Sehingga atribut penegakan hukum hanya SIMBOL. Terkait masalah ini, masih banyak yang akan kami utarakan, namun ruang dan waktu yang terbatas,” ucapnya.

Namun, tambah Darmizal, kami percaya Yang Mulia Majelis Hakim akan berpihak kepada keadilan dan kebenaran hukum yang berlaku. Dan sebagai penutup kami kutip juga “FIAT JUSTITIA RUAT COELUM“ (walaupun langit runtuh keadilan harus tetap ditegakan).

“Fakta Sun Potentiora Verbis (perbuatan atau fakta jauh lebih kuat dari kata-kata), Lex Scripta (hukum harus tertulis) dan karena hukum tidak boleh ambigu (Lex Certa),” tegasnya.