Nusantarapos.co.id, Jakarta – Kemen PPPA memberikan apresiasi kepada Kabupaten Sumba Tengah karena komitmennya untuk menghentikan budaya kawin tangkap. Itu adalah langkah yang sangat positif menuju perlindungan hak-hak individu dan memajukan kesetaraan gender di masyarakat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satunya adalah praktik kawin tangkap yang mengatasnamakan budaya.
Mendukung hal tersebut, Kemen PPPA melalui Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan mengapresiasi diluncurkannya Kesepakatan Bersama Tokoh Adat Sumba Tengah untuk Menghentikan Praktik Budaya Kawin Tangkap.
“Kemen PPPA menyampaikan apresiasi atas komitmen Sumba Tengah dalam menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya kawin tangkap, ungkapnya dalam Launching Kesepakatan Bersama Tokoh Adat Sumba Tengah untuk Menghentikan Praktik Budaya Kawin Tangkap dalam siaran resminya yang diterima Nusantarapos.co.id secara hybrid, Minggu (12/5/2024).
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati mengungkapkan, kesepakatan ini menjadi bukti keseriusan seluruh pihak mulai dari pemerintah daerah, lembaga masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat dalam menyudahi perkawinan paksa yang mengatasnamakan budaya.
Ratna menyampaikan upaya Kemen PPPA dalam melindungi perempuan dan anak dari kekerasan dengan disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam UU TPKS disebutkan bahwa perkawinan paksa merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual.
“Kesepakatan bersama ini merupakan tindak lanjut yang positif dari penandatanganan MoU di tahun 2020 antara empat bupati di Provinsi Sumba yang turut dihadiri oleh Menteri PPPA. Hal ini harus kita kawal bersama agar seluruh pihak bisa terlibat dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan terutama praktik kawin tangkap yang masih marak,” jelas Ratna.
Ratna mendorong dibentuknya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) di tingkat provinsi dan kabupaten sesuai dengan mandat UU TPKS. Dengan dibentuknya UPTD PPA, diharapkan korban kekerasan bisa mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat dan komprehensif sesuai dengan kebutuhannya.
Ketua Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyampaikan bahwa perkawinan yang dimulai dengan kekerasan akan memberikan dampak yang tidak sehat bagi kelangsungan rumah tangga.
“Oleh karenanya, upaya transformasi budaya dan transformasi pemikiran yang dilaksanakan di Sumba Tengah patut diapresiasi dan terus didukung seluruh pihak,” ujarnya.
Andy mengatakan, Komnas Perempuan telah melakukan analisis terkait kawin tangkap. Nantinya, melalui konsultasi bersama kami akan menerbitkan rekomendasi umum terkait cara penanganan kawin tangkap dan pemaksaan perkawinan yang bisa menjadi rujukan bagi aparat penegak hukum (APH) dan para pendamping.
“Harapannya, permasalahan kawin tangkap ini tidak berlanjut di masa mendatang karena memberikan trauma spesifik kepada perempuan korban, maupun pada laki-laki yang yang turut membangun rumah tangga, serta mempengaruhi kehidupan di jangka panjang,” imbuh Andy.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sylvana Maria Apituley turut menyampaikan dampak kawin tangkap bagi anak perempuan diantaranya putus sekolah, trauma psikologis, mempengaruhi kesehatan reproduksi dan menyebabkan tumbuh kembang anak tidak optimal.
“Kami mendorong pemerintah daerah, forum ini dapat dilanjutkan dengan upaya pemenuhan hak anak minimal terkait pendidikan. Jangan sampai anak putus sekolah karena akan menambah kerentanan anak menjadi korban kekerasan atau eksploitasi. Kita harus hentikan kawin tangkap, karena bisa mempengaruhi seluruh kehidupan anak di masa mendatang,” tutur Sylvana.
Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kabupaten Sumba Tengah, Oktavianus Deky menegaskan akan terus mengawal komitmen bersama yang telah dibangun. Penyusunan peraturan daerah, pendampingan korban, hingga pembentukan UPTD PPA dirasa sangat dibutuhkan untuk menekan angka kawin tangkap di Sumba Tengah.
Lanjutnya, sudah saatnya seluruh pihak ikut serta menyudahi permasalahan ini. Kebijakan strategis seperti peraturan daerah sedang kita upayakan dan mudah-mudahan di periode legislatif selanjutnya bisa melahirkan kebijakan baru.
“Upaya pendampingan dan rehabilitasi sudah dilakukan, termasuk kajian terkait pembentukan UPTD PPA karena beberapa kali juga saya dihubungi oleh dinas tentang kebutuhan rumah aman bagi korban dan terkait kebutuhan pendampingan bagi kasus tertentu,” ucap Oktavius.
Direktur Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN), Yustina Dama Dia menyampaikan SOPAN telah melakukan penelitian melibatkan tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat umum.
“Mereka mengatakan bahwa budaya ini tidak lagi layak dilanjutkan, sehingga perlu ada pendekatan baru untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari kawin tangkap salah satunya melalui kesepakatan bersama,” tandasnya.
“Dokumen kesepakatan bersama ini disusun melalui perjalanan panjang berbagai pihak. Adanya dokumen ini diharapkan seluruh bisa menjadi aktor-aktor yang membawa perubahan bagi Sumba Tengah,” Yustina menambahkan. (Guffe)