Jakarta, NusantaraPos – Penyebaran hoaks dinilai sebagai salah satu hal yang merusak tatanan demokrasi. Sebab akibat beredarnya informasi bohong tersebut, ide dan gagasan bukan lagi menjadi faktor utama dipilihnya seorang peserta pemilu oleh masyarakat. Kesimpulan ini mengacu pada Pilkada DKI 2017, serta menjelang Pemilu 2019.
“Karena kalau kita lihat pemantiknya sejak Pilkada DKI sampai ke pilpres sekarang ini, ada satu fenomena di mana demokrasi tidak lagi jadi kontestasi ide dan gagasan, tapi kontestasi ujaran kebencian SARA dan juga hoaks,” ujar Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) di diskusi ‘Hoax, Integritas KPU dan Ancaman Legitimasi Pemilu’ yang digelar Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan) di kawasan Cikini, Jumat (18/1/2019).
Di samping itu, imbuh Zuhairi, penyebaran hoaks berdampak pada perpecahan di masyarakat. Hoaks pun dianggap membahayakan, apabila menyasar lembaga penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU).
KPU sempat menjadi korban hoaks mengenai surat suara yang telah tercoblos sebanyak tujuh kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Kita tidak bisa biarkan hoaks mendelegitimasi KPU pada penyelenggaraan 17 April nanti, ini bahaya sekali,” kata dia.
Menurut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tak masuk akal apabila kecurangan bisa dilakukan ketika pemilu. Sebab, selain seluruh tempat pemungutan suara (TPS) dijaga saksi masing-masing kandidat, di era teknologi yang semakin canggih agak sulit manipulasi dilakukan. Atas itu ia meminta masyarakat dan seluruh pihak menghentikan penyebaran hoaks, termasuk yang menyasar KPU.
“Orang Islam harusnya mengerti betul kalau hoaks itu adalah dosa besar, karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan,” tandas Zuhairi. (RK)