OPINI  

Refleksi Kemerdekaan Ke 74 : Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, Optimalkah Indonesia ?

Oleh : Siti Mahfudzoh
Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta

Dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, perubahan menjadi suatu niscaya. Saat ini, Era revolusi industri 4.0 sudah tidak asing lagi dan menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi, pemangku kebijakan publik, serta para ekonom. Pasalnya, era ini menuntut konektivitas di segala hal (Internet of Thing), juga diyakini dapat membawa perubahan terhadap perekonomian dunia dan kualitas kehidupan secara signifikan.

Dilansir dari berbagai media dan jurnal, era revolusi industri pertama kali mulai dicetuskan oleh sekelompok perwakilan ahli berbagai bidang asal Jerman, pada tahun 2011 lalu di acara Hannover Trade Fair. Dipaparkan bahwa industri saat ini telah memasuki inovasi baru, dimana proses produksi mulai berubah pesat. Pemerintah Jerman menganggap serius gagasan ini sebagai sebuah gagasan resmi, sehingga membentuk kelompok khusus dalam misi penerapan Industri 4.0. selain itu tahun 2015, diperkenalkan kembali dan di follow up oleh Angella Markel di acara World Economic Forum (WEF).

Setelah Jerman, Amerika pun menggerakan Smart Manufacturing Leadership Coalition (MLC), sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari produsen, pemasok, perusahaan, teknologi, lembaga pemerintah, universitas dan laboratorium yang memiliki tujuan untuk memajukan cara berpikir dibalik Revolusi Industri 4.0. Namun, dalam sebuah gagasan selau muncul perdebatan, apakah revolusi Industri 4.0 ini hanya perluasan pada revolusi industri 3.0 ataukah memang komunikasip inovasi baru dari industri 3.0 karena para ahli menemukan perkembangan yang signifikan, selain Internet of Thing (IoT), muncul big data, percetakan 3D, kecerdasan buatan atau bisa disebut Articifial Intellegence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, robot dan mesin pintar.

Disisi lain, di awal januari 2019 lalu, telah beredar gagasan baru yang muncul dari peradaban Jepang sana. Yaitu Society 5.0 disampaikan dalam Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Swiss. gagasan ini muncul atas respon revolusi Industri 4.0 sebagai signifikannya perkembangan teknologi, namun peran masyarakat sangat menjadi pertimbangan atas terjadinya revolusi industri 4.0 ini. Society 5.0 menawarkan masyarakat yang berpusat pada manusia yang membuat seimbang antara kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat menghubungkan melalui dunia maya dan dunia nyata. Menurut perdana menteri Jepang, Shinzo Abe menjelasakan dalam World Economic Forum (WEF).

“Di society 5.0 itu bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung. Layanan kedokteran dan pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi akan mencapai desa-desa kecil” terangnya.

Sebenarnya, konsep revolusi industri 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Yaitu revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intellegent) sedangkan Society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya. Konsep Society 5.0 ini, menjadi inovasi baru dari society 1.0 sampai  society 4.0 dalam sejarah peradaban manusia. Dari mulai society 1.0 manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan. Pada Society 2.0 adalah pertanian dimana manusia sudah mulai mengenal bercocok tanam.

Lalu pada society 3.0 sudah memasuki era industri yaitu ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk menunjang aktivitas sehari-hari, setelah itu muncullah society 4.0 yang kita alami saat ini, yaitu manusia yang sudah mengenal komputer hingga internet juga penerapannya di kehidupan. Jika Society 4.0 memungkinkan kita untuk mengakses juga membagikan informasi di internet. Society 5.0 adalah era dimana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi melainkan untuk menjalani kehidupan.

Sehingga perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi pada kemudian hari. memang terdengar sangat utopis terjadi. Apalagi Indonesia merupakan negara berkembang yang bahkan bisa dikatakan hanya segelintir orang yang mengenal Revolusi Industri 4.0 ataupun Society 5.0. hanya dikalangan akademis yang melek akan kemajuan zamannya, pebisnis yang memang punya kepentingan keberlangsungan usahanya, juga pemangku kebijakan publik yang memperhatikan. Baru hanya seglintir orang. Institusi pendidikan yang dikategorikan unggulan di Indonesiapun belum menerapkan sistem industri 4.0 dan society 5.0 ini. Dari mulai sistem pendidikannya, cara berinteraksi pendidik dan yang terdidik, serta pemupukan paradigma berpikir modernnya.

Adapun komunitas dan organisasi beberapa memang secara mandiri membahas mengenai revolusi industri 4.0 dan Society 5.0, namun hanya cukup menjadi konsumsi pribadi karena keterbatasan kekuasaan. Patut juga di apresiasi akan adanya fokus mengenai perubahan sosial ini, bermodalkan kekritisan dan kepekaan anak muda sehingga komunitas dan organisasi mempunyai bekal untuk terus berinovasi dalam setiap individunya maupun dalam lingkup organisasinya. Orang-orang daerah terpencil bahkan mendengarpun tidak, termasuk pejabat-pejabat daerahnya terlalu fokus pada kepentingan pribadi dan partai yang mengusungnya menjadi pejabat. Apalagi rakyat-rakyat yang dipimpinnya.

Terutama di Banten, provinsi yang dikategorikan memiliki warga miskin yang terus semakin bertambah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Banten, periode Maret 2018, selama 6 bulan terjadi peningkatan menjadi 7,38 ribu orang. Dari sebelumnya berjumlah 661,36 ribu pada maret 2018, menjadi 668,74 ribu orang pada September 2018. Padahal banyak potensi yang bisa dioptimalkan sumber daya alam yang melimpahnya, juga sumber daya manusia yang bisa dikembangkan potensinya. Tinggal hanya miris yang tersisa. Namun kata ‘miris’ tidak menyelesaikan permasalahan. Perlu penanganan serius dari pemerintah.

Banten hanya satu contoh kecil di Indonesia yang mempunyai nasib malang. Masih banyak provinsi-provinsi lain yang lebih tertinggal serta yang lebih terpuruk karena ketidaklihaian para pemangku kebijakan publik. Ini menjadi PR kita bersama dalam upaya meningkatka taraf hidup bersama.

Revolusi Industri 4.0 sudah hampir berjalan 9 tahun, namun perkembangannya di Indonesia sangat lambat. Dilansir dari beberapa media dan jurnal tertentu baru sedikit instansi-instansi yag melek akan perubahan sosial ini,  yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk langkah kongkrit perubahan ke arah kemajuan. Indonesia mempunyai begitu banyak potensi.

Negeri gemah ripah loh jinawi, namun sayang belum optimal diberdayakan. Pengerukan tambang batubara yang ilegal, penebangan pohon secara liar, serta ekosistem laut yang dijajah oleh manusianya sendiri membuktikan sumber daya manusia di Indonesia belum berhasil meratakan sistem berpikir. Semua kalah dihadapan uang. Semua kalah di depan kapitalis. Sebetulnya inti dari semuanya adalah penting sumber daya manusianya berikut pola pikirnya menjadi patokan majunya suatu negara. hal ini selaras dengan perkataan Ibnu Khaldun seorang Sosiolog Muslim terkemuka pada zamannya.

Beliau mengatakan bahwa majunya suatu peradaban tergantung pada keseriusan setiap individu memperbaiki taraf hidup, baik kemajuan ekonomi, kemajuan paradigma berpikir masing-masing individu. Selain itu, didukung pula dengan sistem politik yang terorganisir pada satu intruksi, maka terciptanya peradaban maju.

Di usia yang tak lagi muda ini, Indonesia memiliki PR besar dalam merespon revolusi industri 4.0 dan society 5.0, peran pemerintah sangat harus diperhatikan. Baik dalam segi pendidikan, para aparatur pemerintah dan para pengusaha harus menerapkan kedua perubahan sosial ini. Karena bagaimanapun semua berawal dari kesadaran masing-masing individu dan keinginan untuk sama-sama membangun. Karena bagaimanapun keadaan sumber daya manusianya yang mesti dibangun, dari mulai otomatisasi misalnya.

Apalagi Indonesia mempunyai visi Indonesia Emas pada tahun 2045, yang mampu bersaing dengan bangsa lain serta dapat menyelasaikan masalah-masalah kebangsaan seperti korupsi dan kemiskinan. Disinilah peran generasi penerus bangsa, para pemuda yang harus konsen mengasah kemampuan, memaksimalkan bekal untuk perannya dalam kehidupan mendatang.

Kedepan, problematika yang menghambat akan kemajuan akan niscaya banyak terjadi. namun generasi hari ini generasi yang serba mudah, Orang bisa berkreasi bebas dengan segalanya. Karena saat ini, Internet of Thing (IoT), internet untuk segalanya. Pemerintah harus mengoptimalakan perannya dalam memangku kebijakan-kebijakan publik, ya Internet of Thing ini misalnya.  Memfasilitasi generasi muda dalam mengasah setiap kemampuannya sampai ke desa-desa terpencil. Sehingga tercipta keadilan sosial yang sesungguhnya, bukan hanya memperkaya diri dan golongan. Kemudian terciptanya visi Indonesia yang diidam-idamkan dan mampu bersaing dengan negara lain tidak lagi menjadi ke-utopis-an.