HUKUM  

FORCITA Sambangi Kedubes Desak RRC Hentikan Klaim Atas Laut Natuna Utara

JAKARTA, NUSANTARAPOS – Aksi masa merespon klaim atas laut Natuna Utara oleh Republik Rakyat China (RRC) terus bergulir. Terbaru hari ini Rabu (15/12/2021) Puluhan masa yang tergabung dalam Forum Cinta Tanah Air (FORCITA) kembali menggeruduk kantor Kedutaan Besar (Kedubes) RRC di Jakarta.

Pemicunya adalah permintaan RRC agar Indonesia menghentikan eksplorasi migas di Laut Natuna Utara (LNU) serta merespon protes China atas latihan perang bersama TNI-AD dan milter Amerika Serikat (AS), bertajuk Garuda Shield XV, yang digelar 1 hingga 14 Agustus 202

Kedatangan massa membawa sejumlah spanduk dan poster yang berisi antara lain, “Tolak Intervensi RRC di Laut Natuna Utara”, “Usir Dubes China Sekarang Juga”, “Putus Hubungan Diplomatik dengan RRC”, ada juga berisi “Rakyat RI Siap Menjaga Kedaulatan NKRI”.

Akbar Husin Koordinator Forum Cinta Tanah Air mengatakan, dasar China memprotes eksplorasi migas Indonesia di LNU karena China mengklaim LNU masuk wilayah Laut China Selatan (LCS).

Klaim sepihak ini didasarkan pada penetapan garis batas LCS berupa sembilan garis putus-putus yang menyatakan lapangan Migas Tuna di LNU masuk teritori China. Sedangkan sembilan garis putus-putus ditetapkan atas dasar wilayah laut tersebut merupakan “traditional fishing ground” bagi nelayan China.

Jika dibiarkan, klaim sepihak China ini akan mencaplok sekitar 83.000 km persegi wilayah yurisdiksi Indonesia (30 persen luas perairan Natuna), termasuk Blok migas Natuna Timur (NT) yang menyimpan sekitar 46 triliun cubic feet (TCF) gas,” tegas Akbar di Kedubes RRC Jakarta, Rabu (15/12/2021).

Menurut Akbar Husin, pada bulan September hingga Oktober 2021, terjadi insiden masuknya kapal riset Hai Yang Di Zhi 10, dikawal oleh Kapal Coast Guard Cina dengan nomor lambung CCG 4303 dan 4 kapal perang ke wilayah LNU.

Tujuan utama kapal-kapal China ini melakukan survei laut, guna pemetaan potensi migas di wilayah LNU. Secara provokatif kegiatan ini, dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai dan perang.

Aktivitas riset kapal China di ZEE (Zone Ekonomi Ekslusif) Indonesia ini jelas ilegal karena dilakukan tanpa izin. China telah melanggar kedaulatan RI sesuai Pasal 56 ayat 1, 240, 244 dan 246 UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut) Tahun 1982.

“Tidak hanya itu, China juga telah melanggar Pasal 7 UU 5/1983 tentang ZEEI, yang mengatur tentang kegiatan penelitian ilmiah di ZEE. Kegiatan China ini juga berpangkal pada klaim sepihak yang menyatakan wilayah LNU sebagai teritori China”, ungkap Akbar.

Kata Akbar kondisi ini memperjelas bahwa China telah memperlihatkan peningkatan level ekspresi sikap, dari nota diplomatik menjadi tindakan nyata di lapangan. Hal ini juga menunjukkan bahwa China merasa mampu mempengaruhi dan mengendalikan Indonesia, atau bisa pula dinilai bahwa sejumlah pemimpin Indonesia berada di bawah kendali China. Sehingga, China merasa leluasa dan tidak khawatir mendapat reaksi atau perlawanan guna menjalankan agenda-agenda ekspansifnya.

Jika kelak China melakukan eksplorasi, apakah Indonesia siap dan mampu bertindak untuk menggagalkan? Jangan-jangan, seperti kata Luhut BP Menko Marves RI, pemerintah masih menghormat, atau malah takut protes. Sengketa LNU telah diputus lembaga PBB, namun China tetap menolak dengan arogan. Ekspresi arogansi menunjukkan tren meningkat. Sebaliknya, sikap pemerintah tak jelas dan menunjukkan tren melemah.

“Jangankan mengirim armada maritim guna mengusir kapal survei China, hanya untuk melawan protes China saat Premier Oil mengeksplorasi lapangan Tuna saja, terkesan pemerintah hanya melawan via “pinjam” tangan anggota DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, kami dari Forum Cinta Tanah Air menuntut pemerintah RRC untuk menghentikan intervensi di Laut Natuna Utara”, pungkas Akbar. (mars/*)