Ketum M-34 : Pelaporan Gibran dan Kaesang Tak Miliki Bukti Kuat

Ketum Militan 34 Dr. Anwar Husin, S.H., M.M., (tengah) berada di tengah-tengah putra Presiden Jokowi.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Dampak aduan dosen Univsitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubadilah Badrun terhadap Gibran dan Kaesang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menciptakan stigma negative terhadap anak Presiden Jokowi.

“Tudingan dosen UNJ itu, sangat merugikan nama baika Gibran dan Kaesang sebagai anak Presiden dan politisi muda”,ujar Ketum Militan 34 Dr. Anwar Husin, S.H.M.M ketika berbincang-bincang minggu pagi (16/01) di sebuah tempat di Jakarta Selatan.

Anwar, yang juga pakar hukum pidana tersebut, menilai, pelaporan Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) masih bersifat dugaan.

“Unsur delik hukum atas laporan itu belum memiliki bukti yang kuat,” ujarnya.

Pelaporan Ubedilah Badrun, belum ada kualifikasi sebagai delik hukum, karena yang dilaporkan masih sebatas informasi awal atau temuan awal dari pelapor. Kasus pelaporan akan berlanjut atau tidak katanya tergantung penilaian KPK.

Proses verifikasi aduan akan menentukan, apakah materi pengaduan sudah sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk ranah korupsi, apakah menjadi kewenangan KPK atau tidak.

“Tentunya bila pengaduan menjadi kewenangan KPK maka akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku di badan hukum rasuah tersebut,” kata Anwar.

Pelaporan Badrun ke KPK, ujar Anwar, terkesan terburu-buru dan tanpa disertai bukti yang sahih. Seharusnya sebelum melaporkan sebuah kasus atau seseorang yang diduga melakukan KKN, seharusnya mempersiapkan bukti-bukti yang kuat agar tidak menjadi sebuah tuduhan balik nantinya.

Pertanyaanya apakah dosen UNJ melaporkan Gibran dan Kaesang disertai bukti-bukti valid atau sekedar laporan hanya bersifat dugaan? Jika laporan Ubedilah itu tidak didukung bukti-bukti yang kuat, maka berpotensi pencemaran nama baik.

Untuk diketahui duduk perkara kasus pelaparan ini sebagaimana penjelasan Ubedilah bermula pada 2015 ketika perusahaan yakni PT SM yang menjadi tersangka kebakaran hutan dan digugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) senilai R7,9 triliun.

Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung (MA) hanya mengabulkan tuntutan senilai Rp 78 miliar. Itu terjadi pada Februari 2019 setelah putra Presiden membentuk joint venture dengan perusahaan senior PT SM.

Dugaan KKN terjadi sehubungan dengan suntikan dana penyertaan modal dari perusahan venture yang juga dengan PT SM. Dua kali diberikan cash flow sebesar kurang lebih lebih Rp 99,3 miliar dalam waktu dekat.

Setelah itu anak presiden membeli saham perseroan disebuah perusahaan dengan angka Rp92 miliar. Itulah yang menjadi dasar Ubedilah melaporkan kedua anak Presiden ke KPK.