Penulis: Pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto
Jakarta, Nusantarapos.co.id – Lewat puisinya, pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengkritik kepada Presiden Jokowi. Puisi ini dibuat Denny sehari setelah Kejaksaan Agung menetapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate sebagai tersangka korupsi yang dibarengi penahanan pada Rabu (17/5).
Puisi berjudul Korupsilah dalam Pelukan Koalisi diunggah Denny Indrayana dalam akun Instagramnya @dennyindrayana99 pada, Kamis, 18 Mei 2023. Dalam salah satu bait puisi tersebut, Denny mempertanyakan Presiden Jokowi kenapa pedang hukum dijadikan senjata negosiasi. Hanya menebas putus oposisi tapi melepas bebas koalisi.
Dalam kasus korupsi itu tersangka Johnny diduga rugikan negara Rp 8 triliun dalam dugaan korupsi pembangunan menara ”base transceiver station (BTS)” 4G dan infrastruktur pendukung 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kominfo.
Lantaran puisi dibut oleh seorang Professor yang juga pakar hukum tata negara, maka penting untuk membantah, mengkritik atau melawan ulasan Denny dalam puisi itu. Hal ini bertujuan untuk mengaktifkan nalar sehat masyarakat dalam persoalan kasus korupsi yang menyeret Sekreratis Jendral (Sekjen) Partai NasDem Johnny G. Plate. Selain itu, kata Rocky Gerung berpikir kritis juga merupakan upaya untuk memulihkan akal sehat publik.
Pada awal puisi Denny menulis bait, ‘Korupsilah Tapi dalam Pelukan Koalisi Karena Jika Nekat dibarisan Oposisi, Korupsi Berarti Bunuh Diri.’
Pada bait itu, mantan wakil Menkumham era SBY ini seolah ingin mengiring opini bahwa Presiden Jokowi mengizinkan atau membiarkan partai koalisi melakukan korupsi.
Jika Denny bertujuan ingin mengiring opini seperti ini, maka jelas merupakan kesalahan fatal. Sebab Jokowi selalu bersikap tak peduli kepada pelaku korupsi baik dari partai koalisi atau oposisi. Jokowi tetap konsisten mendukung penegak hukum untuk memberantas korupsi.
Tak hanya Johnny G Plate, sebelumnya terdapat empat menteri di era Jokowi yang juga terseret kasus korupsi. Tetapi Jokowi tetap tegak lurus mendukung penegakan hukum untuk memberantas korupsi, meskipun menteri-menteri itu berasal dari partai-partai koalisi.
Keempat menteri tersebut adalah eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi (PKB), eks Menteri Sosial Idrus Marham (Golkar), eks Menteri Sosial Juliari Batubara (PDIP), dan eks Menteri KKP Edhy Prabowo(Gerindra).
Kesimpulannya, puisi Denny pada bait, ‘Korupsilah Tapi dalam Pelukan Koalisi Karena Jika Nekat dibarisan Oposisi, Korupsi Berarti Bunuh Diri’ adalah kurang tepat atau keliru. Sebab fakya membuktikan, meskipun ada dibarisan koalsi, pelaku korupsi tetap akan berususan dengan KPK, Kejaksaan dan atau Polisi.
Jadi masalahnya bukan berada pada barisan koalisi atau oposis. Salahnya ketika pejabat diberi amanat mengurus duit rakayat melakukan tindak pidana korupsi. Jadilah dia santapan KPK, Kejasaan dan Polisi. Bila pelaku korupsi tak tahan malu, maka bisa-bisa dia bunuh diri. Intinya kesalah ada pada menteri dari partai koalisi karena melakukan korupsi, bukan pada patai koalisi apalagi menjadi salahnya Jokowi. Dalam hal kasus korupsi baik KPK, Kejasaan atau Kepolisian tak akan berani nekat menahan pelaku korupsi tampa alat bukti yang kuat. Jadi pasti ada alat bukti yang kuat.
Kasus korupsi bukanlah tentang cerita ada restu dari Presiden Joko Widodo sehingga Jaksa Agung mentersangkakan dan menahan Sekjen NasDem Johnny G. Plate. Bukan juga karena Ketum NasDem-nya Surya Paloh. Tetapi kasus korupsi adalah tentang cerita suatu kejahatan luar biasa atau ektra ordinary crime yang berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekologi, ekonomi dan politik. Korupsi dapat berdampak buruk pada pemerintahan baik secara nasional maupun internasion.
Kasus korupsi juga bukan cerita karena NasDem mencalonkan Anies Baswdan yang dianggap capres Antitesa. Dan juga bukan soal capresnya Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto yang seakan dianggap mendapat restu dari Presiden Jokowi. Tetapi kasus korupsi adalah cerita tentang kejahatan yang ekstrim. Secara kuantitatif berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Kejahatan korupsi ini sifatnya jauh lebih serius, dan pelakunya dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia.
Atas dasar buruknya dampak kasus korupsi, maka tidaklah mungkin Presiden Jokowi melakukan permainan strategi atau gaya cawe-cawe. Sangat mutahil Jokowi mengunakan pedang hukum menjadi senjata negosiasi dan menebas putus oposisi tapi melepas bebas koalisi.
Yang pasti, Presiden Jokowi akan tetap berlaku adil. Jokowi telah menujukan sikap yang tegas saat menteri-menteri dari partai-partai koalisi melakukan korupsi. Semua ditebas tampa ampun oleh pedang keadilan demi untuk tetap konsisten memberantas korupsi.
Sebagai penutup, Saya juga harus mengakui dan setuju dengan bait penutup dari pusi karya Founder & Senior Partner @integrity_lawfirm yang juga eks Stafsus Presiden SBY Bidang Hukum (2008-2011), Denny Indrayana sebagai berkut.
“Saya bilang jangan Karena hukum tidak kenal diskriminasi, karena hukum anti kriminalisasi, kendati atas nama pemberantasan korupsi.
Karena hukum dinegeri ini seharusnya menghukum mati semua pelaku korupsi tidak peduli oposis atau koalais.”
Yang terakhir, Saya menyarankan, sebaiknya Prof Denny Indrayana sebagai Founder & Senior Partner @integrity_lawfirm bisa membatu Johnny G. Plate untuk bertempur dengan Kejaksaan dipengadilan.
Dalam hal ini, kita wajib menghormati asas praduga tidak bersalah. Artinya, seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pe- ngadilan negeri yang menyatakan kesalahan- nya.