Penulis: Aktivis Senior Jakarta Sugiyanto
Jakarta, Nusantarapos.co.id – Bulan Agustus ini menandai akhir masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta periode saat ini, dengan pelantikan anggota DPRD baru periode 2024-2029 yang dijadwalkan pada 26 Agustus 2024. Dalam masa transisi ini, diperlukan langkah tegas terkait pengelolaan keuangan daerah, khususnya mengenai Penanaman Modal Daerah (PMD) kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Terkait hal tersebut, sangat mendesak bagi DPRD untuk memberlakukan moratorium (penghentian sementara) pemberian persetujuan PMD kepada BUMD di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Moratorium ini harus diterapkan mengingat total kerugian usaha BUMD PT. Jakarta Propertindo (PT. Jakpro) yang mencapai Rp 1,4 triliun.
Alasan ini sangat kuat bagi DPRD DKI Jakarta untuk memberlakukan moratorium PMD kepada BUMD di DKI Jakarta. DPRD dapat berargumen bahwa PMD baru hanya akan diberikan setelah penyebab kerugian usaha PT. Jakpro yang mencapai Rp 1,4 triliun tersebut dapat diidentifikasi dengan jelas.
PT. Jakpro, salah satu BUMD yang menangani proyek-proyek besar di Jakarta, telah mengalami kerugian usaha yang signifikan. Kejadian ini terjadi sejak tahun 2019, selama lima tahun berturut-turut, baik pada era Gubernur Anies Baswedan maupun pada masa Pejabat Gubernur Heru Budi Hartono di tahun 2023.
Total kerugian tersebut menimbulkan kekhawatiran serius terkait manajemen dan efektivitas penggunaan dana daerah.
Moratorium PMD menjadi langkah krusial agar DPRD, baik yang sedang menjabat maupun yang baru, dapat fokus pada penyelidikan mendalam terhadap faktor-faktor penyebab kerugian ini.
DPRD perlu membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki apakah kerugian ini disebabkan oleh risiko bisnis yang wajar atau oleh kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang memberikan penugasan berlebih kepada PT. Jakpro.
Selain itu, kemungkinan adanya perencanaan yang kurang matang dari BUMD itu sendiri harus ditelusuri. Aspek lain yang tak kalah penting adalah potensi adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses pemberian dan penggunaan PMD, yang juga harus diselidiki dengan seksama.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak BUMD atau Pemprov, seperti kerugian usaha akibat biaya operasional dan penyusutan aset yang besar, tidak dapat diterima begitu saja. Kemungkinan kesalahan dalam perencanaan pengajuan PMD harus diteliti sebagai faktor utama.
BUMD seharusnya telah memperhitungkan semua aspek tersebut dalam rencana bisnis mereka, termasuk potensi keuntungan dari pengelolaan aset, sehingga tetap mampu menghasilkan laba dan memberikan kontribusi berupa dividen kepada Pemprov DKI Jakarta.
Oleh karena itu, moratorium pemberian PMD ini harus diterapkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2025 dan seterusnya. PMD baru sebaiknya tidak diberikan hingga seluruh masalah terkait penyebab kerugian PT. Jakpro dapat terungkap dengan jelas.
DPRD harus menentukan apakah kerugian ini disebabkan oleh risiko bisnis yang wajar, kebijakan yang tidak tepat, atau karena perencanaan yang tidak matang dari BUMD. Selain itu, ada kemungkinan kerugian ini juga dipicu oleh potensi praktik KKN, yang dapat menjadi faktor utama mengapa PT. Jakpro mengalami kerugian hingga mencapai Rp 1,4 triliun.
Tanpa adanya klarifikasi dan tindakan korektif, pemberian PMD di masa depan berisiko semakin merugikan keuangan daerah dan menghambat pembangunan Jakarta. Bagaimanapun, PMD adalah uang rakyat yang berasal dari APBD, sehingga mengutamakan kepentingan rakyat melalui program-program pemerintah harus menjadi prioritas utama.