Jakarta, NusantaraPos – Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kabupaten Bekasi dan Polri bersinergi menggelar seminar kebangsaan mengenai antisipasi paham radikalisme, terorisme dan intoleransi. Kegiatan yang digelar di Pondok Pesantren An-Nadwah, Tambun Selatan, Bekasi ini, salah satunya dihelat lantaran menyikapi maraknya pelaku terorisme yang tertangkap atau berdomisili di wilayah tersebut.
“Ada cukup banyak penahanan pelaku aksi terorisme dari Bekasi. Dari data September sampai Oktober yang saya ketahui, sebanyak 27 orang telah ditangkap,” ujar Ketua Pimpinan Cabang NU (PCNU) Bekasi, Bagus Lukito dalam sambutan, Sabtu (26/10/2019).
“Ada dari JAD, termasuk penusuk Pak Wiranto. Pelaku yang terakhir bahkan tinggal 70 meter dari kantor PCNU Bekasi,” imbuh dia.
Penampilan para teroris, kata Bagus saat ini juga telah berubah. Bagi yang laki-laki, kini tak lagi berjidat hitam dan bercelana cingkrang. Sementara yang perempuan tidak mengenakan cadar. Hal ini dilakukan agar penyamaran mereka tak terbongkar, baik oleh masyarakat maupun aparat keamanan.
Karenanya, perlu inovasi dalam menangani masalah terorisme dan radikalisme, sebab salah-salah pendekatan, justru semakin memperkuat dan memperbesar posisi mereka.
“Yang paling berbahaya, mereka selalu mengatasnamakan agama. Sehingga menjadi susah dibasmi. Karena jika kita terlalu keras, nanti dibilang ‘Sesama Islam kok begitu? Padahal satu agama’,” tuturnya.
“Jika ada yang terpapar radikalisme jangan diperangi, karena mereka malah melawan, akan menjauh dan menggalang kekuatan untuk melawan kita. Caranya harus kita sadarkan,” sambung Bagus.
Menurut Ustad Haris Amir Falah, mantan narapidana kasus terorisme (napiter), saat ini seseorang tak perlu didatangi atau dicuci otaknya oleh kelompok radikalis untuk menjadi teroris.
“Saat ini radikalisme jauh lebih susah dideteksi. Terpapar radikalisme kini tidak harus didatangi kaum radikalis. Tapi cukup melalui pengetahuan di media sosial (medsos),” kata dia.
Baiat atau sumpah setia seseorang terhadap tokoh teroris di medsos, juga dinilai berbahaya. Karena tanpa harus mengenal atau pernah bertemu, mereka siap mati membela pemahaman tokoh tersebut. Kondisi ini yang menurut Haris kerap terjadi.
Haris pun mengungkapkan ciri atau karakteristik kelompok pengajian teroris, yang harus dijauhi masyarakat. Salah satunya mereka kerap membahas akhir zaman dan Imam Mahdi.
“Kelompok yang sering membahas hadis akhir zaman, larinya ke Imam Mahdi, yang keluarnya dari Irak dan Syam (Suriah). Itu tidak lain kelompok pengajian ISIS,” jelas mantan teroris yang juga ditangkap di wilayah Bekasi ini.
Pemikir Islam moderat serta tokoh NU, Ulil Abshar Abdalla, mengatakan berbeda dengan pemerintah maupun aparat keamanan, NU memiliki cara-cara tersendiri dalam mengatasi radikalisme dan terorisme.
“Cara keberagamaan NU itu dengan sendirinya punya efek deradikalisasi. Jauh sebelum pemerintah melakukan deradikalisasi, NU sudah melakukan itu. Pesantren NU dalam kitabnya mengandung nilai-nilai deradikalisasi,” ujar dia.
NU dengan segala elemennya juga tak perlu diragukan dalam melawan radikalisme, terorisme, dan menjaga NKRI serta Pancasila. Menurut Ulil, sikap organisasi yang pernah dipimpin Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, bukan komitmen politik tapi sudah menjadi ‘akidah’.
“Kita melawan radikalisme ini bukan untuk mencari keuntungan politik,” ucapnya.
Sementara, menurut pendiri dan CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, paham radikalisme belakangan telah masuk ke dalam struktur masyarakat. Salah satunya menjangkiti aparatur pemerintah seperti pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN).
“Hasil survei kami menunjukkan hampir 23 persen ASN itu setuju dengan khilafah. Mantan Menhan (Menteri Pertahanan) Ryamizard Ryacudu bahkan mengatakan di militer ada 3 persen yang terpapar radikalisme. Kemudian di kepolisian juga sama,” paparnya.
Generasi muda seperti mahasiswa dan pelajar juga telah terpengaruh radikalisme. Sebanyak 20 persen mahasiswa diketahui setuju dengan paham non-Pancasila, begitu pula pelajar. Keadaan ini dinilai perlu perhatian semua pihak agar tak semakin meluas dan berkembang.
“Kalau buat saya, ketika ingin mengganti Pancasila, NKRI, itu sudah masuk radikalisme,” jelasnya.
Adapun turut hadir dalam diskusi perwakilan Markas Besar (Mabes) Polri, AKBP Syuhaimi dan jajaran, pimpinan Ponpes An-Nadwah, Gusdurian, peserta dari mahasiswa seperti PMII, pelajar, dan elemen NU lainnya.