Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Meningkatkan Angka Kemiskinan

Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Willem Wandik saat mengikuti rapat.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dari Pertalite, Solar, dan Pertamax. Harga terbaru BBM bersubsidi dan non-subsidi itu mulai berlaku pada Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30 dengan rincian kenaikan BBM bersubsidi Pertalite dari Rp 7.650 per liter jadi Rp 10.000 ribu per liter dan Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter jadi Rp 6.800 per liter.

Pemerintah beralasan bahwa beban subsidi BBM membengkak tiga kali lipat serta klaim 70 persen BBM bersubsidi dinikmati oleh masyarakat mampu sehingga dianggap pemerintah akan mengalihkan anggaran subsidi BBM tersebut kepada program-program yang dianggap lebih tepat sasaran seperti bantuan langsung tunai (BLT), Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan bantuan untuk angkutan umum, bantuan ojek online, dan bantuan nelayan.

Menanggapi hal tersebut Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Willem Wandik justru malah mempertanyakan kebijakan tersebut. Apakah kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi adalah satu-satunya pilihan terakhir yang harus diambil oleh pemerintah seperti yang diucapkan oleh presiden Jokowi saat mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi ?

“Atau sudah tepatkah pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi di saat kondisi ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih akibat pandemi dua tahun terakhir?,” tanyanya ketika ditemui di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (6/9/2022).

Lanjut Willem, dan apakah kebijakan bantuan langsung tunai, bantuan subsidi upah dan bantuan-bantuan lainnya selama empat bulan mendatang dapat memproteksi masyarakat tidak mampu akibat efek domino imbas kenaikan harga BBM?

“Tentu kita cukup memahami niat baik pemerintah untuk menjaga kestabilan fiskal negara dengan memangkas beban pembiayaan yang dianggap tidak tepat sasaran namun apakah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi adalah kebijakan yang sudah tepat mengingat bahan bakar minyak adalah penggerak utama roda perekonomian masyarakat,” katanya.

Menurut Willem, kenaikan BBM bukanlah sekedar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, namun akan menyebabkan semua sektor terdampak karena BBM adalah kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri bahan pokok hingga logistik akan terdampak dan angka inflasi akan semakin tinggi efek penurunan daya beli masyarakat menengah ke bawah.

“Di sisi yang lain kondisi yang cukup mengkhawatirkan pula akan dirasakan oleh para pelaku usaha yang saat ini masih dalam fase pemulihan akibat pandemi Covid-19 akan berisiko melakukan PHK massal akibat biaya produksi dan biaya operasional naik namun permintaan turun akibat daya beli masyarakat yang menurun akibat kenaikan harga BBM bersubsidi,” terangnya.

Willem menjelaskan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi tentu akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia, hal ini karena kenaikan BBM akan menurunkan daya beli akibat melonjaknya harga barang pokok dan strategis. Tentu pemerintah sudah memikirkan upaya mitigasi mencegah hal tersebut dengan program bantuan langsung tunai (BLT), Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan bantuan-bantuan sosial lainnya yang akan dilaksanakan selama empat bulan ke depan, namun nilai bantuan yang akan diberikan tentu tidak akan mampu membendung dampak pengganda (multiplier effect) antara lain naiknya biaya transportasi, harga barang kebutuhan pokok, biaya perumahan, pendidikan, dan banyak lainnya.

“Dampak lebih besar akan dirasakan bagi masyarakat yang berada di daerah terdepan, terluar dan tertinggal karena mereka akan merasakan imbas kenaikan harga BBM bersubsidi berkali-kali lipat dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya yang berada di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

Oleh karena itu, tambah Willem, pemerintah perlu untuk mengkaji Kembali kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi dan mencari formulasi kebijakan yang lebih tepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini seperti melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dengan kriteria dan sistem tertentu tanpa harus menaikkan harga, mengevaluasi kembali program-program pembangunan dan kebijakan pemerintah yang tingkat urgensinya tidak terlalu dibutuhkan oleh masyarakat demi stabilitas fiskal tanpa mengorbankan hajat hidup masyarakat yang saat ini mulai bangkit dari efek pandemic global covid-19.

“Para pendiri bangsa telah membuat salah satu tujuan negara Indonesia yaitu kesejahteraan bagi rakyat sebagai sebuah negara merdeka yang tertuang dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 “membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa“. Tentu amanat pembukaan UUD 1945 tersebut perlu untuk senantiasa kita jaga sebagai pedoman kita dalam bernegara,” ungkapnya.