Zahrudin Afnan, Pemuda Asal Jombang Jadi Tenaga Pengajar di Jeddah

Jombang, Nusantarapos – Mahasiswa S1 Pendidikan Biologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Muhammad Zahrudin Afnan, saat ini menjadi salah satu tenaga pengajar di Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) yang bertempat di Distrik Rihab, Jeddah, Arab Saudi. Zahrudin merupakan salah satu mahasiswa yang mengikuti program hasil Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepakatan antara Office of International Affairs (OIA) dengan Divisi Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) UNESA. Zahrudin mengajar di Jeddah bersama dengan mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang lain. Program ini dibiayai langsung oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Jurusan Biologi UNESA.

Zahrudin tiba di Jeddah pada tanggal 30 September 2022. Zahrudin mengajar sebagai mahasiswa PLP di Sekolah Indonesia Jeddah. PLP merupakan salah satu tahap yang harus dijalani Zahrudin sebagai mahasiswa semester 7.

Sedikit informasi, Sekolah Indonesia Jeddah adalah sekolah yang dikelola oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah sebagai wadah bagi anak-anak Indonesia di Jeddah. Diprakarsai oleh Lilahi Grahana Sidharta, Zainal Arifin Al-Habsyi, dan Emzita, tujuan awal pendirian Sekolah Indonesia Jeddah ini sebagai pemersatu warga negara Indonesia (WNI) di Jeddah, Arab Saudi melalui forum pendidikan.

Terdapat peristiwa bersejarah yang mengiringi cikal bakal lahirnya Sekolah Indonesia Jeddah. Dahulu, sekolah ini bernama Taman Kanak-kanak Trikora di bawah naungan Dharma Wanita Unit Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Riyadh. Nama “Trikora” diambil karena saat itu bertepatan dengan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat), sebuah operasi militer yang dilancarkan untuk melawan pendudukan Belanda atas Irian Barat (sekarang Papua). Operasi ini dilaksanakan atas perintah Presiden Soekarno.

Tanggal 1 September 1967, Kepala Perwakilan Republik Indonesia Jeddah membentuk sebuah Komisi yang bernama Komisi Sekolah Indonesia Jeddah. Tugas utama komisi tersebut yakni membina sekolah Indonesia di Jeddah dan mengusahakan perolehan pengakuan Republik Indonesia khususnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Selain itu, komisi ini juga bertugas mempersiapkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indonesia di Jeddah.

Nama sekolah Indonesia saat itu adalah Sekolah Indonesia Pancasila. Pada 6 Januari 1968, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0112/1968, SD dan SMP Sekolah Indonesia Pancasila di Jeddah resmi diakui sebagai sekolah yang sederajat dengan sekolah-sekolah di tanah air.

Sekolah Indonesia Jeddah pernah bertempat di Distrik Sharafiyah, pernah pula bertempat di Distrik Baghdadiyah. Dua distrik tersebut merupakan tempat tinggal sebagian besar warga Indonesia di Jeddah. Akhirnya, Sekolah Indonesia Jeddah resmi beralamat di Distrik Rehab, tepatnya di Al-Zilaq Street.

Zahrudin menceritakan kepada awak media tentang pengalamannya PLP di Jeddah. Dirinya mendapatkan hal baru. Zahrudin juga harus menyesuaikan dirinya dengan kultur dan natur baru.

“Saya sampai di sini ya cukup culture shock, ya. Pertama, di sini saya harus menyesuaikan kondisi tubuh saya dengan kondisi iklim di sini. Di sini itu keadaannya cukup panas dan kering gitu, ya. Jadi, panas-nya berbeda dengan panas tropis ketika saya di Indonesia, terutama di Surabaya. Awal-awal saya di sini itu badan saya agak drop. Ya, mungkin karena belum kebiasaan lah. Tapi sekarang alhamdulillah sudah menyesuaikan,” tuturnya.

Lanjut, Zahrudin juga menceritakan bagaimana aktivitas warga di Jeddah. Terutama di daerah sekitar tempatnya mengajar.

“Orang-orang di sini itu cenderung beraktivitas saat malam hari. Pergi belanja ke pusat perbelanjaan atau ke pasar pun, ya malam hari. Begitu juga ketika mereka menghabiskan waktu bersama keluarga mereka masing-masing, ya di malam hari. Soalnya, ketika siang atau saat terang itu kan ya lumayan panas banget. Jadi, masyarakat di sini dan saya pula pun kalau keluar-keluar ya di malam hari,” cakapnya.

“Siswa-siswa yang saya ajar di sini memiliki karakteristik yang beragam. Siswa-siswa di sini memiliki keunggulannya masing-masing. Tapi satu hal yang pasti, mereka di sini adalah anak-anak yang rajin, tekun, dan ulet. Mereka juga kerap kritis ketika berdiskusi dengan saya. Mereka juga selalu belajar dan mencoba hal-hal baru,” ucapnya.

Ketika ditanya apakah rindu dengan Indonesia? Zahrudin menjawab.“Ya, kadang saya rindu sih. Tapi mau bagaimana lagi, saya ada tugas yang harus dijalani di sini. Kangen Indonesia itu wajar, lah,” tutup Zahrudin. (vn)