OPINI  

Refleksi Hari Santri: Memahami Bedanya Anak Muda Santri dan Bukan Santri

Ir. R. Agoes Soerjanto MT, Waketum GM FKPPI

Oleh : Ir. R. Agoes Soerjanto MT, Waketum GM FKPPI

Dekap hangat pelukan santri membawa hembusan semilir kearifan dan kehangatan yang mungkin terasa asing di tengah zaman yang sarat akan kesejukan materialisme. Hari Santri tahun ini tak sekadar mengundang kita untuk merenung. Tetapi juga mengajak kita untuk menyelami, mengapa di antara gemerlap generasi muda, sosok santri masih mampu berdiri dengan kokoh, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para guru dan kiai-nya.

Melintas di lorong-lorong sejarah, santri telah menjadi pilar penjaga tradisi dan moral bangsa. Berasal dari pesantren, sebuah pusat pendidikan Islam yang telah lama mengakar, santri tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang penuh dengan tuntunan spiritual dan moral.

Dalam diam, mereka belajar menghargai dan menghormati. Tidak hanya kepada orang tua, guru, pembimbing, atau mentor, tetapi juga kepada masyarakat dan lingkungan sekitar.

Mengapa hal ini penting? Karena di masyarakat dalam segmen apapun, termasuk politik, kita sering melihat bagaimana nilai-nilai ini tergerus. Bahkan tercampakkan oleh kepentingan nafsu dan syahwat sesaat.

Terlihat jelas, bagaimana ketidakpedulian dan ketidaktaatan kepada orang tua, guru, mentor atau bahkan pendahulunya menjadi gambaran kecil dari kondisi moral bangsa yang lebih luas. Terutama menjelang orkestrasi politik menjelang Pilpres 2024.

Sebuah perbandingan yang mencolok dapat kita lihat. Di satu sisi, ada santri yang taat dan penuh penghormatan. Mereka tidak mudah terbawa arus. Mampu berdiri teguh di tengah pusaran politik yang penuh dengan kompromi. Mereka mengerti bahwa politik adalah medan untuk berjuang, bukan untuk mengkhianati asas dan merusak tradisi.

Sedangkan di sisi lain, kita melihat generasi muda yang mudah terpengaruh. Generasi yang tanpa berpikir panjang rela mencampakkan nilai dan norma. Mengkhianati dan tidak lagi menghormati orang tua, demi kepentingan syahwat sesaat. Fenomena ini mencerminkan degradasi moral dan etika yang harus menjadi perhatian serius bagi bangsa ini.

Namun, kita harus bijak. Bukan berarti semua yang bukan santri mengambil jalan yang salah. Ada juga mereka yang berprinsip dan beretika, namun terombang-ambing dalam dunia yang penuh dengan pertentangan ini. Mereka mencari identitas, sebuah pegangan yang dapat menjadi landasan dalam menjalani hidup.

Santri, dengan kearifan dan keteladanan mereka, dapat menjadi inspirasi. Sebuah cahaya yang menerangi jalan yang kelam. Mereka mengajarkan kita bagaimana cara berdiri dengan kokoh, tidak mudah goyah oleh rayuan dan godaan sesaat.

Sebagai refleksi, Hari Santri mengajarkan kita bahwa untuk menciptakan masyarakat dan bangsa yang bermoral dan beretika. Kita perlu kembali kepada akar tradisi. Kepada nilai-nilai luhur yang telah lama menjadi fondasi bangsa ini.

Dalam konteks politik, nilai-nilai ini harus menjadi kompas dalam menentukan arah dan kebijakan. Bukan sekedar menjadi ornamen retorika yang indah di permukaan saja.

Beda Gaya Berpolitik Santri dan Bukan Santri

Dari pesantren ke panggung politik, santri bergerak dengan langkah yang berbeda. Mereka membawa misi, sebuah amanah yang bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi lebih kepada pengabdian.

Pengabdian kepada rakyat, pengabdian kepada nilai dan kebenaran. Di sinilah, kita melihat perbedaan mendalam antara generasi santri dan mereka yang tumbuh tanpa bekal kearifan spiritual yang sama.

Generasi santri, meskipun tidak lepas dari dinamika dan tantangan zaman, memiliki fondasi yang kuat dalam menghadapi derasnya arus modernitas dan politik. Dengan bimbingan dan asuhan yang mereka terima, mereka mampu merawat dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam konteks keluarga dan orang tua. Penghormatan dan ketaatan kepada orang tua bukanlah sekedar norma, tetapi telah menjadi bagian dari identitas dan kehidupan mereka.

Tetapi, apa yang terjadi dengan sebagian generasi muda hari ini? Terlalu sering, kita melihat bagaimana norma-norma kemanusiaan dan kebudayaan tergadaikan.

Dalam dunia politik, misalnya. Seringkali kita saksikan bagaimana pertarungan kekuasaan melahirkan konflik, tidak hanya dalam ruang publik, tetapi juga merembet ke dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Rasa hormat dan ketaatan kepada orang tua ideologi pun, terkadang, menjadi korban dari persaingan dan ambisi yang menggebu-gebu.

Santri menunjukkan kepada kita bahwa politik tidak harus dipisahkan dari etika dan moral. Bahwa dalam berpolitik, kita tidak harus kehilangan diri dan mengabaikan asas-asas kehidupan bermasyarakat yang seharusnya kita junjung tinggi.

Mereka mengajarkan kita untuk tidak mudah terbuai oleh janji-janji manis dan retorika yang menggoda. Tetapi tetap berpijak pada realita dan kebenaran.

Refleksi Hari Santri adalah momentum untuk kita semua, santri atau bukan, untuk merenungkan kembali arah dan tujuan kita. Untuk menyadari bahwa kehidupan ini lebih dari sekedar mengejar kekuasaan dan kesuksesan duniawi. Bahwa ada nilai-nilai yang harus kita pegang teguh, yang tidak bisa dikompromikan, yang harus kita jaga dan lestarikan.

Dalam refleksi ini, marilah kita mengambil hikmah dan pelajaran dari generasi santri. Marilah kita belajar untuk kembali menghargai dan menghormati, untuk lebih memahami dan mengerti, untuk lebih bijaksana dalam bertindak dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (*)