banner 970x250

Dewan Periklanan Indonesia Tolak Larangan Iklan Produk Tembakau di RPP Kesehatan

JAKARTA, NUSANTARAPOS – Dewan Periklanan Indonesia (DPI) selaku konsorsium yang membawahi berbagai asosiasi di bidang periklanan dan industri kreatif menyatakan penolakan atas pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana Undang Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI) M Rafig mengatakan pihaknya menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif sebagai pemangku kepentingan utama yang terdampak dalam merancang aturan dan pasal-pasal yang identik dengan pelarangan tersebut.

“Kami sudah bersurat kepada pemerintah, sebagai inisiator regulasi, namun tidak mendapatkan respons apa pun hingga saat ini,” ujarnya dalam dalam Konferensi Pers “Pernyataan Sikap Dewan Periklanan Indonesia terhadap Larangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau pada RPP Kesehatan” di Jakarta, Selasa, 28 Mei 2024.

Dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang berpotensi muncul pada beleid tersebut, Rafig bersama para anggota konsorsium DPI menuangkan permohonan dan masukannya kepada Presiden Joko Widodo untuk meninjau ulang pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di RPP Kesehatan. Lebih dari itu, ia juga meminta agar regulasi tersebut tidak disahkan tanpa adanya pelibatan DPI sebagai perwakilan dari industri periklanan dan kreatif.

“Rencana aturan yang masih menuai polemik ini nantinya dapat menghambat pengembangan industri ekonomi kreatif, yang telah menjadi komitmen kuat baik bagi pemerintahan saat ini dan pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran,” tegasnya.

Rafig menjelaskan, iklan rokok sendiri sudah diatur dalam berbagai pengaturan yaitu UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), serta Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 guna memastikan komunikasi yang ditujukan oleh produsen hanya menjangkau konsumen dewasa (berusia 18 tahun ke atas). Selain itu rambu-rambu tentang iklan rokok juga telah diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang mana seluruh peraturan dan ketentuan tersebut telah dipatuhi secara disiplin oleh pelaku industri kreatif.

“Sebelum pandemi, tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif mencapai sekitar satu juta orang, pasca pandemi tersisa 750.000 orang. Jika pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau ditetapkan di RPP Kesehatan, maka kami khawatir angka tenaga kerja tersebut bisa kembali merosot,” terang Rafig.

Di tempat sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar mengungkapkan bahwa sejumlah aturan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau tersebut akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan industri periklanan dan kreatif di tanah air, khususnya media pertelevisian. Pasalnya, iklan rokok telah menjadi kontributor utama pendapatan iklan media.

Berdasarkan data Nielsen, iklan rokok termasuk dalam 10 besar kontributor pendapatan iklan media di Indonesia dengan nilai mencapai Rp 4,5 triliun. Angka ini hanya mewakili paruh pertama tahun 2021. Secara keseluruhan, iklan rokok menyumbangkan pundi-pundi hingga Rp9,1 triliun terhadap pendapatan iklan media sepanjang 2021.

Sementara itu, dari 16 subsektor ekonomi kreatif, setidaknya terdapat enam subsektor yang terkait dengan industri tembakau dari aspek periklanan hingga pembuatan materi kreatif. Adapun secara kolektif, enam subsektor ini menjadi lapangan pekerjaan bagi 725.000 jiwa di Indonesia.

“Perlu dipahami bahwa iklan juga akan menentukan kualitas konten dari media penyiaran. Maka, dampak kerugian yang akan ditimbulkan dengan hilangnya Rp 9,1 triliun ini tidak hanya berhenti pada kerugian media penyiaran namun juga mempengaruhi kualitas siaran hingga kemampuan media memperkerjakan para karyawannya,” kata Gilang.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi turut menyesalkan adanya pengaturan media luar ruang untuk iklan produk tembakau yang mengharuskan jarak 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

Menurutnya, hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan karena tidak adanya detil terkait penentuan jarak. Dia khawatir aturan terkait jarak ini akan menimbulkan multitafsir di lapangan sekaligus menjadi PR (pekerjaan rumah) baru bagi pemerintah.

“Pengaturan iklan produk tembakau pada videotron yang diperlakukan seperti layaknya media penyiaran adalah contoh bahwa pembuat regulasi hanya ingin melakukan pelarangan tanpa memahami produk atau objek yang diatur. Hal-hal seperti ini terjadi karena tidak adanya komunikasi atau pelibatan pemangku kepentingan terdampak pada diskusi regulasi,” tambahnya.

Lebih lanjut Fabianus memaparkan sebanyak 44 anggota AMLI di seluruh Indonesia terancam gulung tikar dengan adanya aturan pelarangan iklan produk tembakau di RPP Kesehatan maupun RUU Penyiaran. Mirisnya, mayoritas dari persentase tersebut merupakan pengusaha kecil dengan skala bisnis menengah ke bawah.

“Pemerintah harus memahami bahwa investasi yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan media luar ruang turut meliputi pembangunan infrastruktur dengan nilai yang tidak kecil serta memperkerjakan karyawan dengan jumlah yang tidak sedikit pula,” pungkasnya.