Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Disela-sela Munas Ikanot UI di kampus UI Depok, kami menanyakan pendapat Pieter Latumeten SH., MH., SpN Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MKn FHUI) terkait Kurikulum Magister Kenotariatan (MKn) mengingat saat ini banyak kasus-kasus terkait dengan notaris dan akta-aktanya.
Pieter menyatakan belum ada penelitian yang valid berapa persen lulusan MKn yang menjadi notaris tapi dapat dipastikan mayoritas lulusannya berprospek menjadi notaris. Menurutnya, kurikulum MKn harus berorientasi kepada kebutuhan masyarakat dan masalah-masalah hukum yang ada dalam kaitan dengan jabatan profesi notaris.
Ia jelaskan, “kurikulum harus berorientasi pada materi hukum yang secara langsung terkait dengan substansi akta, teknik pembuatan akta dan pemahaman alat bukti atau dokumen hukum yang berisi fakta hukum yang menjadi dasar notaris memberikan penilaian hukum atas fakta hukum yang dimuat dalam dokumen hukum itu,” ucap Pieter, Sabtu (7/9/2024).
Notaris dalam menjalankan jabatan khusus dalam pembuatan akta autentik didasarkan pada keterjalinan antara keadaan nyata (fakta), dokumen hukum dan keterangan penghadap. Kukirulum MKn perlu memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang alat bukti tulisan sebagai dokumen hukum yang berisi fakta hukum dan berdasarkan fakta hukum ini dapat diberikan pendapat hukum yang menjadi dasar konstruksi dalam akta autentik.
Sebagai contoh Pieter menguraikan akta nikah, sebagai alat bukti tulisan atau dokumen hukum yang diterbitkan oleh instansi pencatat nikah yang berwenang yang berisi nama suami-istri, status pada saat menikah jejaka dan perawan atau duda dan atau janda, tanggal pernikahan, ada atau tidak ada pencatatan perjanjian kawin.
“Jika status menikah yang laki-laki atau wanita, jejaka dan perawan dan menikah tanpa ada perjanjian kawin maka jika suami-istri memperoleh benda pasca perkawinan melalui jual-beli bukan hibah atau warisan maka benda itu menjadi harta bersama,” kata Pieter.
Untuk itu, ia berpendapat perlunya melakukan reposisi kurikulum sesuai perkembangan hukum dan masalah-masalah hukum yang dihadapi notaris dalam menjalankan jabatannya, antara lain perlu mata kuliah tentang teknik pemahaman dokumen hukum Kenotariatan.
Bahkan perkembangan hukum melalui yurisprudensi, perundang-undangan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang digitalisasi layanan publik membawa akibat perlu dilakukan reposisi akta-akta notaris sesuai perkembangan hukumnya.
Pieter memberikan contoh lagi soal akta pengakuan anak luar nikah bagi WNI (Warga Negara Indonesia,red) yang tunduk pada Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku pasal 281 KUHPerdata harus dibuat dengan akta autentik dan pasal 284 KUHPerdata harus dibuat dengan persetujuan ibu dari anak itu, dan perkembangan hukum dalam UU Administrasi kependudukan mensyaratkan kedua orangtuanya harus menikah secara sah menurut hukum agama dan belum sah menurut hukum negara.
“Sebagai contoh lain pasal 1470 KUHPerdata tentang Selbsteintritt dimana penerima kuasa menjual dilarang menjual kepada diri sendiri atau perantaranya. MA dalam berbagai putusan menyatakan jika kuasa menjual tidak mengandung benturan kepentingan atau tidak ada lagi kepentingan pemberi kuasa seperti PPJB lunas, maka kuasa menjual diberikan kepada pembeli selaku penerima kuasa khusus untuk menjual kepada pembeli selaku penerima kuasa sendiri dan kuasa menjual tersebut bukan pelanggaran ketentuan pasal 1470 KUHPerdata,” pungkasnya.
Hal ini mengharuskan dilakukan reposisi akta notaris sesuai perkembangan hukumnya dengan mata kuliah baru reposisi akta notaris sesuai perkembangan hukum.