Komitmen Pemerintah, Guru Besar UNAIR Paparkan Komitmen dan Tantangan Indonesia Hijau

Surabaya, Nusantarapos.co.id – Berangkat dari keikutsertaan dalam KTT G20 Pittsburgh dan COP-15 pada 2009, Indonesia berkomitmen untuk menerapkan ekonomi hijau. Di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia bertekad menurunkan emisi gas rumah kaca melalui Rencana Aksi nasional dan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK).

Berlanjut pada masa presiden Joko Widodo yang menjadikan ekonomi hijau masuk dalam Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Prabowo menjadi RPJPN 2025-2045 dengan visi Indonesia Emas.

Komitmen para pemimpin negeri ini membawa Prof Dr Deni Kusumawardani SE MSi memaparkan orasi ilmiahnya mengenai ekonomi hijau. Materi tersebut ia paparkan pada pengukuhan Guru Besar UNAIR, di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus MERR-C UNAIR, Rabu (28/5/2025).

Penerapan Ekonomi Hijau, menurutnya, menjadi urgensi penting bagi Indonesia, sebab amanat konstitusi Indonesia menyatakan bahwa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

“Kedua, kondisi lingkungan Indonesia memang memprihatinkan. Tahun 2023, Indonesia termasuk 10 negara penghasil emisi karbon terbesar dan menempati peringkat keempat dalam deforestasi,” lanjutnya.

Perspektif Internasional, Nasional, dan Daerah Prof Deni menjelaskan, dari sudut pandang dunia, kinerja ekonomi hijau masih ada pada skor sedang. Melalui pemeringkatan Green Growth Index, pada 2020 Indonesia berada pada skor 57,08 dan berada di urutan ke-9 di Asia. “Di ASEAN, kita berada di bawah Thailand, Filipina, Singapura, dan Vietnam,” lanjutnya.

Begitupun dalam capaian SDGs, pada 2024 Indonesia berada pada skor 69,4 dengan kategori kemajuan terbatas. “Meskipun lebih tinggi dari rata-rata global, Indonesia masih tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN,” ungkap Guru Besar FEB itu.

“Kinerja terbaik Indonesia ada di indikator sosial, namun, masih lemah pada aspek lingkungan.” paparnya.

Lebih lanjut, di tingkat nasional, tren ekonomi hijau mengalami peningkatan. Prof Deni memaparkan, Indeks Ekonomi Hijau Indonesia naik dari 47,20 pada tahun 2011 menjadi 59,17 tahun 2020.

“Artinya, ada peningkatan rata-rata 2,5 persen per tahun. Namun, skor ini masih jauh dari kategori sangat baik yang seharusnya 75 ke atas,” katanya.

Sama seperti pemeringkatan SDGs, kinerja terbaik Indonesia melalui indeks nasional berada pada aspek sosial dan ekonomi, sementara kinerja lingkungan masih ada di titik lemah.

Beralih pada perspektif daerah, Prof Deni melanjutkan, Indeks Daya Saing Daerah Berkelanjutan (IDSDB) tahun 2022 menunjukkan rata-rata skor sebesar 56,34, atau masih dalam kategori sedang.

Meskipun skor ini meningkat, sayangnya pemerataannya masih belum maksimal, pasalnya, sebagian besar kabupaten atau kota dengan skor tertinggi masih berada di wilayah barat dan tengah Indonesia seperti Jawa dan Bali.

Proses menuju Indonesia Hijau
atas berbagai hal yang telah Prof Deni sampaikan, lanjutnya, Indonesia masih harus melalui perjalanan panjang menuju cita-cita Indonesia hijau.

“Indonesia telah menunjukkan langkah positif mulai dari komitmen politik hingga peningkatan kinerja. Tantangan utama ada pada aspek lingkungan yang belum maksimal, baik di tingkat nasional maupun daerah,” paparnya.

Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Lingkungan dan Pembangunan itu, menyampaikan Indonesia perlu lebih agresif untuk mendorong upaya inovasi hijau, baik melalui peningkatan investasi di sektor energi bersih, dan memperkuat kolaborasi dari pemerintah, swasta, dan masyarakat.

“Hanya dengan langkah bersama, Indonesia bisa menjadi negara yang maju secara ekonomi dan lestari secara lingkungan,” pungkasnya. (Aryo)