Green Human Resource Management, Terobosan menuju Indonesia Hijau dari Aspek SDM

Surabaya, Nusantarapos.co.id – Pernjanjian Paris 2015 dan Glasgow Climate Pact 2021 menjelaskan menjadi sebuah bentuk nyata dari perhatian global terhadap isu perubahan iklim yang kian serius.

Dunia harus bertindak cepat mengatasi krisis iklim. Keadaan darurat ini menjadikan Prof. Dr. Nuri Herachwati, Dra.Ec., M.Si., M.Sc. meneliti tentang transformasi hijau dalam manajemen sumber daya manusia. Materi orasinya itu, ia sampaikan pada pengukuhan Guru Besar UNAIR, di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus MERR-C UNAIR, Rabu (28/5/2025).

Menurut Prof Nuri, Indonesia menunjukkan komitmen Indonesia hijau melalui kebijakan energi hijau dengan menargetkan emisi karbon puncak di 2030 dan net zero emission pada 2060. “Indonesia juga menargetkan 23 persen energi berasal dari sumber terbarukan pada 2025,” lanjut Guru Besar FEB itu.

Namun, yang menjadi tantangan adalah fakta bahwa Indonesia masih mengalami masalah polusi udara, deforestasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Hal itu terbukti dari posisinya yang berada di urutan ke-133 dari 180 negara pada Environmental Performance Index di tahun 2018.

Green Human Resource Management
Permasalahan tersebut membawa Prof Nuri meneliti tentang transformasi hijau dari sudut pandang manajemen sumber daya manusia. Pada orasinya, Guru Besar FEB itu membahas tentang Green Human Resource Management (GHRM).

“GHRM adalah gabungan antara manajemen SDM dan pengelolaan lingkungan. Tujuannya, mendorong organisasi agar operasionalnya lebih ramah lingkungan, melalui perubahan perilaku dan budaya kerja,” paparnya.

Dengan menerapkan GRHM, lanjutnya, perusahaan dapat meningkatkan kinerja lingkungan dan menciptakan budaya kerja yang peduli pada keberlanjutan. “GHRM bukan hanya soal menghemat listrik atau kertas, tapi juga menciptakan SDM yang memiliki kesadaran lingkungan dalam setiap aspek kerja,” lanjutnya.

Pendorong dan Tantangan
Dari studi dan kajian literatur yang Prof Nuri lakukan, ia memaparkan tiga pendorong utama GHRM.

Pertama adalah Association Compliance, yakni partisipasi organisasi dalam asosiasi industri yang mendorong untuk mengikuti standar keberlanjutan.

Kedua adalah Top Management Commitment yang mengedepankan pentingnya dukungan dari manajemen puncak dalam pengalokasian sumber daya dan budaya kerja hijau.

Terakhir adalah Human Resources yang menjelaskan bahwa SDM menjadi agen perubahan menuju perilaku ramah lingkungan, yang perlu dorongan dari pelatihan dan rekrutmen yang memperhatikan kesadaran lingkungan.

Di sisi lain, terdapat setidaknya empat tantangan dari penerapan GHRM menurut Prof Nuri. Tantangan tersebut ada pada aspek manajemen, yang mana masih ada kurangnya pemahaman pimpinan terhadap pentingnya sumber daya hijau. Selain itu, SDM menjadi tantangan apabila karyawan tidak siap beradaptasi dan belum memiliki budaya kerja hijau.

“Faktor organisasi juga menjadi tantangan, yang mana minimnya koordinasi antar departemen dan lemahnya budaya organisasi hijau menyulitkan pelaksanaan GHRM secara menyeluruh,” lanjut Profesor di bidang Ilmu Pengembangan Manusia dan Organisasi itu.

Terakhir, ketidakjelasan regulasi dan belum adanya insentif dari pemerintah membuat banyak organisasi enggan memulai transformasi hijau. Masa Depan Berkelanjutan Menyikapi dorongan dan tantangan tersebut, penerapan transformasi hijau melalui GHRM nyatanya tidak hanya sekadar tren. Ini menjadi sebuah kebutuhan mendesak dalam menghadapi krisis iklim dan tuntutan global.

“Untuk itu, sinergi antara kebijakan pemerintah, komitmen pimpinan perusahaan, dan kesadaran lingkungan individu sangat dibutuhkan,” tegasnya.

SDM yang peduli lingkungan tidak hanya dapat menjadi faktor pendorong Indonesia hijau, tetapi juga meningkatkan daya saing ekonomi di tengah era keberlanjutan. “Ini akan menjadi momentum bagi dunia kerja di Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi perubahan iklim, bukan hanya melalui teknologi, tapi lewat manusia dan organisasi yang hijau,” tutupnya. (Aryo)