Oleh: Muhammad Amri Akbar (Aktivis Pemuda & Aktivis KAMMI)
“Aku hanya ngopi dengan sederhana di bulan Juni,”- Sapardi Djoko Damono,
menggambarkan betapa bulan Juni kerap datang tanpa gemuruh, namun selalu menyisakan
kesan yang mendalam. Di balik kesederhanaannya, Juni tahun ini menyimpan makna yang melampaui rintik hujan dan hangatnya secangkir kopi. Ia menjadi ruang waktu yang menyatu antara spiritualitas dan kebangsaan. Idul Adha yang mengajarkan keikhlasan dan pengorbanan, serta Hari Lahir Pancasila yang mengingatkan kita pada dasar pijakan perjuangan bangsa.
Meskipun sedikit imajiner, penulis yakin bagi Presiden Prabowo, Juni tahun ini terasa lebih
istimewa karena bulan Pancasila sekaligus shalat Idul Adha pertamanya sebagai Presiden
Republik Indonesia. Dua momentum yang simbolik sekaligus substansial. Idul Adha
bersumber dari wahyu langit, Pancasila bersumber dari sejarah perjuangan kemerdekaan. Keduanya sarat pesan moral dan arah strategis dalam menahkodai bahtera besar yang kita sebut Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan jika bulan Juni ini kita maknai sebagai bulan kalibrasi kompas bangsa.
Kalibrasi Kompas Bangsa: Membaca Ulang Cita-Cita
Kalibrasi kompas yang penulis maksud adalah upaya serius untuk menerjemahkan ulang
cita-cita kebangsaan yang hari ini kian kabur dalam kabut pragmatisme dan kepentingan
jangka pendek. Setelah 27 tahun reformasi, demokrasi memang telah membuka ruang
bicara, ruang protes, dan ruang memilih. Namun demokrasi bukan sekadar panggung
kebebasan, ia merupakan metode untuk mempercepat peradaban, mewujudkan tata kelola negara yang adil, partisipatif, produktif, dan berorientasi pada rakyat.
Sayangnya, demokrasi kita hari ini belum tuntas menjadi jalan pembebasan. Ia belum
sepenuhnya mengangkat martabat rakyat miskin, belum menyentuh akar ketidakadilan
ekonomi, bahkan mulai mengalami regresi. Kita masih melihat birokrasi yang korup, politik
yang transaksional, dan partisipasi publik yang melemah akibat frustasi kolektif. Dalam
konteks ini, kalibrasi kompas bangsa membutuhkan konsolidasi nasional pada dua poros utama yakni konsolidasi politik kebangsaan dan konsolidasi sumber daya ekonomi.
Konsolidasi Politik Kebangsaan: Reposisi Etika dan Gagasan
Konsolidasi politik kebangsaan bukan sekadar menyatukan kekuatan elite atau menambal
retakan koalisi kekuasaan. Ini adalah upaya mengembalikan politik kepada marwah
sejatinya yakni politik sebagai alat perjuangan rakyat. Konsolidasi politik kebangsaan
menuntut keberanian untuk mengakhiri politik identitas dan polarisasi elektoral yang terlalu
lama membelah bangsa. Negara harus hadir bukan sebagai aktor dalam polarisasi,
melainkan sebagai perekat kebangsaan. Namun perlu dicatat bahwa, rekonsiliasi elite saja
tidak cukup. Kita perlu kebangkitan ideologi sebagai panglima praksis politik.
Saat ini, partai-partai politik lebih sibuk dengan popularitas ketimbang platform ideologis.
Kita harus mengembalikan agar partai politik menjadi lokomotif ide dan solusi. Pendidikan
politik harus ditumbuhkan, terutama bagi generasi muda, agar ruang publik kembali menjadi
ladang dialektika.
Reformasi sistem rekrutmen politik menjadi kuncinya karena selama proses ini masih elitis
dan berbasis pada kekuatan modal, rakyat akan tetap merasa jauh dari wakilnya. Partai Pun
harus mulai dan berani membuka ruang meritokrasi dan memperjuangkan kader-kader
terbaik dari akar rumput. Politik yang adil dan etis hanya mungkin terwujud jika representasi
politik lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kepemimpinan Presiden Prabowo yang terlihat lugas dan berani sebenarnya dapat menjadi
modal strategis dengan syarat ditopang oleh integritas pemerintahan yang dipimpinnya.
Sebab, visi besar seperti swasembada pangan sampai industrialisasi berbasis rakyat harus
dilandasi sistem politik yang bersih, transparan, dan berpihak.Jika konsolidasi politik ini
berhasil, maka kepercayaan publik akan pulih. Dan kepercayaan publik adalah fondasi
utama dari keberlanjutan pembangunan.
Konsolidasi Sumber Daya Ekonomi: Keadilan sebagai Instrumen Pembangunan
Kita mengetahui bahwa tidak ada pembangunan yang bermakna tanpa keadilan, begitupun
dengan tidak akan ada pertumbuhan berkelanjutan tanpa distribusi yang merata. Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam atau potensi ekonomi. Yang kita butuhkan adalah
keberanian politik untuk mendistribusikan kekayaan nasional secara adil dan visioner.
Penataan ulang relasi antara negara dan kekayaan alamnya adalah syarat awal.
Sektor-sektor strategis seperti tambang, energi, dan agraria harus berada di bawah kontrol
negara untuk kemaslahatan rakyat. Hilirisasi harus disertai evaluasi kritis seperti siapa yang
paling diuntungkan? Apakah buruh memperoleh kehidupan lebih baik? Apakah masyarakat
adat dan petani dilibatkan? Apakah lingkungan lestari?
Inisiatif seperti Koperasi Merah Putih adalah sinyal keberpihakan pada ekonomi yang lebih
demokratis. Kita berharap program KMP dikelola dengan serius karena koperasi bisa
menjadi alat kolektif rakyat untuk mengakses modal, distribusi, dan produksi secara adil
bahkan dapat mereduksi dominasi oligarki yang selama ini menyumbat sirkulasi
kesejahteraan nasional.
Reforma agraria dan redistribusi aset pun harus digesa dan menjadi prioritas. Lahan terlantar dan eks-HGU harus dikembalikan kepada petani, koperasi, dan masyarakat adat. Begitu juga dengan UMKM juga harus menjadi prioritas utama, negara harus hadir dengan kebijakan afirmatif seperti akses kredit murah, pelatihan teknologi, perlindungan pasar, dan regulasi yang adil terhadap platform digital besar yang mengancam kedaulatan ekonomi lokal.
Terakhir, reformasi fiskal progresif wajib dilakukan. Pajak harus menjadi instrumen distribusi ulang kekayaan, bukan beban bagi yang lemah. Belanja negara harus menyasar kelompok
rentan petani, nelayan, perempuan, pemuda, dan pekerja informal. Dan disinilah kita melihat keadilan sosial bekerja secara nyata.
Pancasila bukan hanya sila yang dikutip setiap Juni,ia merupakan sistem nilai yang harus
dihidupkan dalam kebijakan, dalam partai, dalam anggaran, dalam pembangunan dan
dalam setiap lini dan sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat . Jika Presiden Prabowo benar-benar ingin mewariskan Indonesia yang lebih kuat dan berdaulat, maka konsolidasi politik dan ekonomi adalah jalan tak terelakkan.
Jalan yang tidak selalu mudah, tapi niscaya akan membawa kita lebih dekat pada cita-cita besar yaitu Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat, bukan hanya untuk elite, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia.