Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id – Dalam
ruang digital kita akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural. Interaksi antar budaya dapat menciptakan standar baru tentang etika. Maka, segala aktivitas digital di ruang digital dan menggunakan media digital memerlukan etika digital.
Dr. Dwiyanto Indiahono, M.Si, Dosen Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, Jawa Tengah mengatakan, ada tiga dimensi moderasi beragama di dunia digital. Pertama, sikap baik, seperti oase di tengah gurun.
“Kedua, sikap tidak ekstrem dan tidak pula berlebih-lebihan baik dalam ibadah ataupun dalam hal muamalah. Dan ketiga, bersikap adil yang menempatkan sesuatu pada tempatnya,” kata Dwiyanto di acara diskusi virtual bertema “Moderasi Beragama Melalui Media Digital”, Rabu (12/4/2023).
Dwiyanto menyebutkan, dalam bermedia digital diperlukan kesadaran, integritas, tanggung jawab dan kebajikan.
“Kesadaran yang di maksud di sini, melakukan sesuatu dengan sadar atau memiliki tujuan. Sedangkan integritas yaitu kejujuran, menghindari plagiasi, manipulasi, dan sebagainya,” jelas Dwiyanto.
“Sedangkan tanggung jawab yaitu kemauan menanggung konsekuensi dari perilakunya di media digital, dan kebajikan memberikan hal-hal yang bernilai kemanfaatan, kemanusiaan, dan kebaikan,” sambungnya.
Sementara itu, Ahmad Faridi, Ketua Tim Sarana Bidang Penma Kanwil Kemenag Prov. Jateng mengatakan ada tantangan yang akan dihadapi dalam berbudaya digital, yaitu terjadinya pelanggaran hak cipta dan karya intelektual, mengaburkan wawasan kebangsaan, menipisnya kesopanan dan kesantunan, menghilangnya jati diri budaya Indonesia, dan justru menjadi “panggung” bagi budaya asing.
“Minimnya pemahaman akan hak-hak digital, kebebasan berekspresi yang kebablasan, berkurangnya toleransi dan penghargaan pada perbedaan, dan menghilangnya batas-batas privasi,” tambah Faridi.
Maka dari itu, lanjut Faridi, diperlukan kompetensi bermedia digital dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pengetahuan dasar akan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.
Kata Faridi, dunia digital adalah dunia kita sekarang. Dia mengajak untuk bersama-sama mengisinya dan menjadikannya sebagai ruang yang berbudaya, tempat belajar dan berinteraksi, tempat anak-anak bertumbuhkembang, sekaligus tempat di mana kita sebagai bangsa, hadir dengan bermartabat.
Pembicara lainnya, Eka Y Saputra, Staf IT Lesbumi PBNU berkeyakinan bahwa remaja Indonesia cakap dalam mengelola konten agama di media digital. Dia pun memberikan tuntunan untuk bermedia digital yang efektif.
“Pertama tentukan platform media sosial yang akan digunakan, lalu tentukan audiensnya, apakah perorang, organisasi, atau publik,” kata Eka.
Selanjutnya, kata Eka, menetapkan cara (tonalitas) yang digunakan untuk mencapai target yang telah ditentukan, misalnya dalam bentuk ajakan dan imbauan, peringatan, atau pemberitahuan.
Eka menyarankan, dalam membuat konten di media sosial sebisa mungkin meminimalisir terjadinya ambiguitas atau makna ganda yang dapat membingungkan, salah paham sehingga memicu terjadinya konflik.
Setelah itu, Eka menyarankan agar memantau situasi emosi dan respon audiens.
Sebagai informasi, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Dan, perlu diketahui, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.