Berdakwah dalam Dunia Digital, Bagaimana Caranya?

Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id – Budaya bermedia digital merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, diperlukan pengetahuan dasar akan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.

Kanwil Kementerian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Anita Isdarmini, S.Pd. M.Hum mengatakan jatidiri kita dalam ruang budaya digital tak berbeda dengan budaya nondigital. Hanya saja, digitalisasi budaya memungkinkan kita mendokumentasikan kekayaan budaya.

“Digitalisasi budaya dapat menjadi peluang untuk mewujudkan kreativitas,” kata,” kata Anita dalam diskusi bertema “Berdakwah dalam Dunia Digital”, yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Kamis (15/6/2023).
Anita menegaskan, setiap warga negara memiliki hak untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan informasi melalui digital media digital. Tapi, juga berkewajiban menjagak hak-hak atau reputasi orang lain, juga menjaga keamanan nasional, ketertiban masyarakat, atau kesehatan dan moral publik.

Sementara itu, Muhammad Mustafid, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara Mlangi mengatakan, terjadinya perubahan teknologi analog ke digital merubah cara masyarakat beraktivitas. Dicontohkannya, terjadi inovasi bisnis dan pemanfaatan teknologi digital di berbagai sektor kehidupan.

Lalu, dia mengaitkan dengan pentingnya berdakwah di dunia maya. Katanya, karakter media sosial yang kosmopolit dan egaliter melahirkan perubahan-perubahan sosial dan matinya kepakaran.

Diungkapkannya, mengutip pernyataan Setara Institute, perilaku intoleransi meningkat di masa pandemi COVID-19. “67,2% narasi keagamaan di medsos didominasi kalangan konservatif,” ungkapnya.

Selama ini, kata Mustafid, kalangan moderat dan toleran menjadi silent majority (mengutip dari Wahid Foundation). Dan, jika kita abai dengan media sosial, maka medsos akan diisi oleh orang-orang yang tak paham agama, ektrem dan intoleran.

Adapun ragam dakwah di media sosial di antaranya meme quote dari tokoh atau da’i yang moderat, infografis ibadah-ibadah atau akhlak keseharian, konten video pendek di chanel YouTube, dan podcast dengan tema-tema keislaman yang mengedepankan nilai-nilai harmoni, pemberdayaan masyarakat dan persatuan bangsa.
Lanjut Mustafid, di era yang serba digital ini diperlukan kemampuan seperti Digital Skill, Digital Ethics, Digital Culture, dan Digital Safety.

Berdasarkan riset Microsof tahun 2020 menyebutkan, berdasarkan Digital Civility Index (DCI), Indonesia berada di ranking ke-29 dari 32 negara. DCI adalah indeks yang dibuat Microsoft untuk mengukur perilaku masyarakat di media sosial.

Menurut dia, dalam bermedia digital sangat diperlukan etika Digital (Digital Ethics), yaitu kemampuan untuk menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari.
“Ketika menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Kemampuan untuk bertindak patut wajib dalam dunia digital,” imbuhnya.

“Ruang lingkup etika dalam bermedia digital yaitu kesadaran, tanggung jawab, integritas, dan nilai kebajikan,” sambung Mustafid.
Dia pun menyarankan, saat bermedia digital kita harus berpegangan 5 hal, yaitu analisis, verifikasi, evaluasi, partisipasi, dan kolaborasi.

Selain itu, dia mengajak masyarakat untuk menghindari interaksi negatif, seperti memberikan komentar negatif di media sosial, memberikan kata-kata hujatan, lontaran kalimati negatif, ujaran kebencian, dan cyberbullying.

Kata Mustafid, ada konsekuensi hukum yang dihadapi ketika melanggar etika dalam bermedia digital. Dia mencontohkan, bagi yang melakukan ujaran kebencian dapat dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) UU ITE, dengan hukuman paling lama 6 tahun penjara atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Pembicara lainnya, Dosen dan Peneliti di Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Yani Dwi Astuti, S.Sos mengatakan, berdasarkan hasil survei Alvara Research Center (2017), bagi generasi milenial internet adalah segalanya.
“Tanpa adanya koneksi ke internet, generasi ini tidak bisa apa-apa. Dan, sosial media menjadi referensi informasi dan rujukan belajar,” kata Yani Dwi.

Kondisi ini, menurut Yani Dwi, media sosial seakan-akan menjadi sahabat sekaligus mempengaruhi peran pendidikan agama anak muda zaman now. “Kaum millenial mencari informasi agama dari Google,” ujarnya.

Yang harus diwaspadai, kata Yani Dwi, berdasarkan riset Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) tahun 2018, masuknya virus radikalisme dan fundamentalisme ke ruang-ruang media sosial.

Maka dari itu, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemahaman dan penguasaan literasi digital bagi pengguna media digital saat dilakukan proses mediasi ke media digital.

“Individu yang cakap bermedia digital akan mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan lunak dalam lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, serta aplikasi dompet digital, lokapasar, dan transaksi digital,” tuturnya.
Yani Dwi berpendapat, dakwah yang ramah yaitu yang sesuai dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, mempersulit ajaran agama dan tidak mengklaim sebagai pihak yang paling benar. Dan, tidak mengandung unsur kekerasan, berburuk sangka terhadap pihak di luar golongannya, dan mudah mengkafirkan orang lain.

Sebagai informasi, adapun informasi lebih lanjut mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo Facebook Page dan Kanal Youtube Literasi Digital Kominfo.