Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terus mensosialisasikan pentingnya literasi digital. Bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, menggela diskusi virtual bertema “Jangan Asal Copy-Paste, Yuk Hindari Plagiarisme”, Rabu (3/5/2023).
Salah satu pembicara, Imam Wicaksono dari JPNusa memaparkan literasi digital adalah kemampuan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan teknologi digital secara positif, produktif, dan aman.
Mengapa cakap berliterasi digital penting? Kata Imam, karena mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Selain itu, menumbuhkan rasa keingintahuan akan ilmu pengetahuan dan membentuk pribadi yang kreatif, inovatif, dan senantiasa berpikir kritis,” kata Imam Wicaksono.
Dia menjelaskan, plagiarisme adalah penjiplakan atau mengambil karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan dan pendapatnya pribadi.
“Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Dalam dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas,” tuturnya.
Imam kemudian memaparkan jenis-jenis plagiarisme yaitu, plagiarisme langsung. “Plagiarisme langsung ini adalah tindakan menyalin kata demi kata milik atau karya orang lain tanpa kutipan, tanpa menyebutkan sumber tulisan,” ujarnya.
“Jenis-jenis lainnya yaitu plagiarisme parafrase, plagiarisme mosaik, dan plagiarisme yang tidak disengaja,” sambung Imam.
Plagiarisme parafrase yaitu membuat beberapa perubahan pada karya orang lain, kemudian mengakui sebagai karya pribadi. Sedangkan plagiarisme mosaik adalah mengubah beberapa kata, frasa, atau kalimat, kemudian menyatukan dalam tulisan pribadi. Dan, yang dimaksud dengan plagiarisme tidak disengaja yaitu Salah kutip, sumber kutipan salah, atau tidak menyadari bahwa karya itu bukan milik penulis.
Imam mewanti-wanti, dampak buruk dari perilaku plagiarisme adalah reputasi buruk dan penulis kehilangan kepercayaan diri.
Dampak lainnya yaitu memupuk rasa malas dalam belajar dan berkarya, sehingga menghambat kreativitas. Dan, bisa dicabutnya gelar akademik, bahkan bisa tersandung kasus hukum.
Imam memberikan tips agar terhindar dari plagiarisme. Pertama, belajar dan memulai proses penelitian lebih awal. Agar mendapat sumber dan kutipan pendukung yang benar dan jelas. Kedua, parafrasakan ide, pokok pikiran, dan gunakan bahasa sendiri. Ungkapkan kembali suatu tulisan dalam susunan kata yang berbeda tanpa mengubah pengertian atau makna aslinya. Dan, tips terakhir, ringkas dan tulis garis-garis besar pemikiran secara menyeluruh. Ringkasan dapat menghindarkan dari perbuatan plagiasi.
Pembicara lainnya, Kepala BPTIK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Dr. H. Siswanto, M.Pd mengatakan, dalam bermedia digital diperlukan etika. Selain itu, dia menyarankan untuk berhati-hati dengan konten-konten negatif, serta berinteraksi dan bertransaksi di media digital secara bijak.
“Etika digital adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari,” terang Siswanto.
“Maka dalam tata kelola, berinteraksi, berpartisipasi, berkolaborasi dan bertransaksi digital harus dilakukan dengan kesadaran, tanggung jawab, integritas (kejujuran), dan nilai kebajikan,” sambungnya.
Soal netiket, lanjut Siswanto, hal paling mendasar dari netiket adalah harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya.
“Netiket ini juga erat kaitannya dengan penguasaan soft skill literasi digital yang merupakan bagian dari pengembangan diri yang harus kita miliki,” imbuhnya.
Siswanto mengatakan, netiket sangat diperlukan saat berinteraksi di dunia digital. Karena, pengguna internet berasal dari bermacam negara yang memiliki perbedaan bahasa, budaya dan adat istiadat. Apalagi, bermacam fasilitas di internet memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak etis.
Mengenai konten negatif, Siswanto menyebutkan telah diatur dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah diubah melalui UU No. 19/2016 yang dijelaskan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna.
Selain itu, konten negatif juga diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan.
“Konten negatif muncul karena motivasi-motivasi pembuatnya yang memiliki kepentingan ekonomi, politik, mencari kambing hitam, dan memecah belah masyarakat, berkaitan dengan suku agama ras dan antargolongan (SARA),” jelas Siswanto.
Adapun cara mengatasi konten-konten negatif, kata Siswanto, yakni dengan cara melakukan analisis dan memverifikasi, tidak ikut mendistribusikan, berkolaborasi memerangi konten negatif, dan berperan aktif di ruang digital.
Sementara itu, Heru Prasetia, Koordinator Media dan Publikasi Seknas Jaringan GUSDURian mengatakan, dalam bermedia digital perlu dipastikan keamanan digital.
Keamanan digital adalah sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital, baik secara daring maupun luring dapat dilakukan secara aman. Tidak hanya untuk mengamankan data, tapi juga melindungi data pribadi yang bersifat rahasia.
“Kompetensi keamanan digital yaitu mengamankan beberapa hal seperti perangkat digital, identitas digital, memahami rekam jejak digital, dan memahami keamanan digital bagi anak, juga mewaspadai penipuan digital,” kata Heru.
Bagaimana cara mengamankan perangkat digital, kata Heru, melakukan update secara berkala, memasang anti virus, dan menggunakan password yang kuat.
Sambil berseloroh, Heru mengibaratkan password seperti “celana dalam”, harus sering diganti, bersifat rahasia atau pribadi, dan jangan dibagikan ke orang.
Heru kemudian menyebutkan penipuan digital yaitu Phishing dan Scam. Phishing adalah upaya untuk mendapatkan informasi data seseorang dengan teknik pengelabuan. Sedangkan Scam, Bentuk penipuan melalui telepon, email, messaging, dsb, dengan tujuan pada umumnya untuk mendapatkan uang atau keuntungan dari para korbannya.
Sebagai informasi, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Dan, perlu diketahui, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.