Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id –
Di era yang serba digital kini berdakwah bisa dilakukan secara online. Banyak bermunculan channel-channel dakwah di berbagai platform media digital. Sayangnya, banyak yang memanfaatkannya untuk tujuan tidak baik.
Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama (PW NU) DI Yogyakarta Bidang Media dan Teknologi Informatika (TI) PW Fatayat NU DIY Aina Masrurin mengatakan kemajuan teknologi informatika kerap dimanfaatkan oleh individu atau sekelompok orang yang memiliki tujuan tidak baik.
“Digunakan untuk penyebaran paham radikal, propaganda khilafah, tata cara membuat bom,, dan ajakan melakukan jihad,” kata Aina di acara diskusi virtual bertema “Berdakwah Dalam Dunia Digital” yang diinisiatori Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Rabu (10/5/2023).
Dia mengungkapkan kondisi intoleransi di Indonesia saat ini berdasarkan hasil survei di 11 provinsi yaitu ketidakpercayaan antar kelompok suku dan agama sebesar sebesar 67,60%, religiusitas (67,60%), perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain (71,70%), radikalisme (84,20%), kesenjangan sosial ekonomi (75,20%), dan penyebaran berita bohong (hoax) sebesar 92,40%.
Lalu, bagaimana cara berdakwah yang aman dan ramah? Menurut manajer Komunitas Digital Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta ini ruang lingkup audiens sangat menentukan dan juga platform yang digunakan.
“Misalnya individu, organisasi atau aliran, grup medsos, dan grup WhatsApp. Selain itu cara penyampaian atau ajakan, himbauan yang menyejukkan,” tuturnya.
Aina mewanti-wanti, berdakwah di dunia digital dapat munculkan makna ganda, sehingga menyebabkan audiens bingung sehingga berpotensi salah memahami dan akhirnya memunculkan konflik.
Karena itu, belajar agama di internet tidak bisa dilakukan secara otodidak. Harus ada bimbingan dari seorang guru yang otoritatif dan kompeten di bidangnya. Karena keteladanan tidak bisa ditransfer hanya melalui visual dan audio.
“Tanpa guru, ilmu agama hanya akan menjadi wacana dan bahan bakar perdebatan. Ingat, internet adalah alat, bukan tujuan utama,” ujarnya.
Aina menyarankan kepada masyarakat untuk mendeteksi identitas dan otoritas penulis atau kreator konten. Penting juga dilakukan agar memfilter ajaran yang memuat kebencian dan kekerasan, serta mengkroscek dengan referensi lain, baik yang pro maupun kontra.
“Mengkonsultasikan dengan tokoh agama di dunia nyata, menahan diri untuk tidak gegabah menyebarkan konten agama, dan berhati-hati terhadap keamanan data pribadi ketika memproduksi, mengakses, berkomentar dalam konten dakwah,” tuturnya.
Sementara itu, Rika Iffati Farihah, Founder neswa.id mengatakan We are Social Hootsuite mencatat pada Februari 2022 di Indonesia terdapat 204,7 juta pengguna internet yang setara dengan 73,7% dari populasi penduduk Indonesia. Angka tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya 2,1 juta atau naik 1%.
Sementara, berdasarkan Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 mengungkap bahwa dari tiga subindeks Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia yaitu akses dan infrastruktur, intensitas penggunaan, dan keahlian/kecakapan, subindeks keahlian yang memiliki skor paling rendah.
Kata Rika, Individu yang cakap bermedia digital dinilai mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan lunak dalam lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, serta aplikasi dompet digital, lokapasar, dan transaksi digital.
Rika pun memberikan tips menjaga diri dan orang lain dari ancaman berita bohong (hoax). Pertama, ambil jeda waktu, tidak terburu-buru bereaksi dan jangan terbawa emosi. Kedua, saring sebelum sharing, dengan mengecek fakta, cek kredibilitas sumber, cari alternatif dan bandingkan.
“Tips terakhir, pertimbangkan risiko dan manfaatnya. Bila tidak yakin, jangan disebarkan,” tukasnya.
Dia juga menyarankan jika menemui akun yang telah mengganggu privasi, melanggar ketentuan sosial seperti menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian, laporkan.
Pembicara lainnya, Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Jawa Tengah H Wahid Arbani mengatakan dalam ruang digital kita akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural. Interaksi antar budaya dapat menciptakan standar baru tentang etika. Maka, segala aktivitas digital di ruang digital dan menggunakan media digital memerlukan etika digital.
Kata dia lagi, dalam bermedia digital harus memiliki kesadaran, integritas, tanggung jawab, dan kebajikan.
“Kita harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layer monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya,” ucap Wahid.
Lanjut Wahid, era digital harus dimaknai sebagai sebuah masa atau era di mana peranan teknologi digital yaitu teknologi berbasis komputer telah memegang peranan yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di kehidupan social maupun komersial.
“Sebagian orang menyebut bahwa era digital ini mulai melahirkan apa yang disebut dengan istilah disruptive technology, yaitu munculnya bisnis-bisnis baru berbasis teknologi digital,” jelasnya.
Di era digital seperti saat ini, dimana masuknya internet dan penggunaan smartphone sudah sedemikian tingginya, maka masyarakat khususnya generasi muda milenial yang relatif sangat dekat dengan dunia digital dan internet, memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan ilmu tanpa harus hadir secara fisik di berbagai majelis ilmu yang ada.
Era digital dalam dakwah juga ditandai dengan menguatnya peran media sosial dalam interaksi antara pendakwah dengan jamaah, dimana proses komunikasi bisa dibangun secara instan dengan model dua arah yakni jamaah bisa menyampaikan pertanyaan atau pendapat langsung kepada para ustad atau ustadzah sebagai penceramah melalui berbagai akun media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya.
Karena itu, kata Wahid, dakwah dan teknologi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Penyampaian dakwah harus dilakukan secara optimal, termasuk memanfaatkan sosial media, agar dapat diterima lebih luas dan cepat. Sehingga optimalisasi dakwah dapat ditingkatkan efektifitasnya baik dari sisi waktu, biaya, maupun proses.
“Dakwah di era digital tentu bisa menjadi sebuah tantangan atau bahkan menjadi sebuah peluang. Kecanggihan teknologi, seharusnya mampu dimanfaatkan sebagai sarana melakukan kegiatan dakwah menjadi jauh lebih efektif dan efisien,” imbuhnya.
Sebagai informasi, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Dan, perlu diketahui, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.