Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id –
Perundungan atau yang ngetrend dengan istilah bullying adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok.
Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Dr. Uswatun Hasanah, S.Pd., M.Pd mengatakan, untuk melindungi anak-anak menjadi korban cyberbullying, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan beserta sanksi hukumnya.
“UU No. 35/2014 yang merupakan perubahan atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 76 c yang menyebutkan, ‘Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak’,” kata Uswatun dalam dikusi virtual bertema “Cyberbullying: Apa Itu dan Bagaimana Cara Menghentikannya” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Selasa (16/5/2023).
Sedangkan pada Pasal 9 ayat 1a menyebutkan ‘Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain’.
Sementara itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 82/2015 mengatur tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan
Adapun sanksi yang diberikan kepada pelaku yaitu bagi setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
“Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korban mengalami luka berat maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta,” jelasnya.
“Sedangkan pasal ayat (2) jika korban sampai meninggal dunia, maka pelaku diancam hukuman penjara 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar. Dan, pidana akan ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tua korban,” lanjutnya menjelaskan.
Uswatun menyebutkan beberapa tempat yang berpotensi menjadi tempat terjadinya cyberbullying yakni cyber (media sosial dan sejenisnya), rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Dia kemudian membeberkan ciri-ciri anak yang berpotensi menjadi korban cyberbullying, di antaranya yang cenderung sulit bersosialisasi, memiliki fisik yang cenderung berbeda dengan lainnya, misalnya terlalu kurus atau terlalu gemuk, dan cenderung berbeda dari lainnya seperti dari latar belakang keluarga yang sangat kaya atau sangat miskin.
Kemudian, Uswatun menyebutkan dampak bullying baru korban dan pelaku. Korbannya akan mengalami kesakitan secara fisik dan mengalami gangguan psikologis, kepercayaan diri menurun (self-esteem), malu, trauma, merasa sendiri, dan serba salah, takut ke sekolah, cenderung mengasingkan diri, bahkan terburuknya muncul keinginan untuk bunuh diri dan mengalami ganggunan jiwa.
Sedangkan dampak buruk bagi pelaku adalah pelaku bullying akan belajar bahwa tidak ada risiko apapun bagi mereka bila mereka melakukan kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain.
“Ketika dewasa, pelaku memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pelaku kriminal dan akan bermasalah dalam fungsi sosialnya,” ungkap Uswatun.
Karena itu, kata Uswatun, diperlukannya pencegahan di antanya dengan cara mengembangkan budaya pertemanan yang positif, membantu dan merangkul teman yang menjadi korban bullying, saling mendukung satu dengan yang lainnya, serta memahami dan menerima perbedaan.
Sementara, pihak sekolah juga menyediakan layanan pengaduan bagi korban bullying secara aman dan rahasia, bekerja sama dan berkomunikasi aktif dengan siswa dan orang tua, dan mengeluarkan kebijakan bersama antibullying.
“Pencegahan juga perlu partisipasi masyarakat juga dengan bekerja sama dengan satuan Pendidikan mengembangkan anti kekerasan,” tuturnya.
Bahkan, lanjut Uswatun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang media sosial No. 14/2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Sementara itu, Dr Bevaola Kusumasari, Dosen Senior Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan, per Februari 2022 terdapat 204,7 juta pengguna internet yang setara dengan 73,7% dari populasi penduduk Indonesia. Angka tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya (2,1 juta atau naik 1%).
Sedangkan, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 mengungkapkan bahwa dari tiga subindeks Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia yaitu akses dan infrastruktur, intensitas penggunaan, dan keahlian/kecakapan, subindeks keahlian yang memiliki skor paling rendah.
Dijelaskannya, kecakapan dalam bermedia sosial ditandai dengan kemampuan mengetahui dan memahami cara mengakses dan menggunakan sosial media.
Begitu juga dengan keterkaitan antara kepuasan penggunaan internet dengan literasi digital seharusnya dapat seimbang, sehingga pemanfaatan teknologi dapat berjalan sesuai dengan kesadaran masyarakat dalam mempergunakan teknologi tersebut.
Kata Bevaola, tujuan literasi digital adalah memberi kita kontrol yang lebih besar atas interpretasi karena semua pesan media merupakan hasil konstruksi.
Pembicara lainnya, Daru Wibowo, dosen Universitas Bina Nusantara mengatakan cyberbullying adalah segala bentuk intimidasi atau penindasan di dunia maya yang dialami seseorang dan dilakukan oleh orang lain di dunia maya atau internet. Dia menyebutkan, 41-50% anak usia 13-15 tahun di Indonesia pernah menjadi korban cyberbullying.
Karena itu, agar tidak menjadi korban cyberbullying, Daru menyarankan agar pelajar memiliki prestasi, jalin pertemanan yang positif, memiliki kepercayaan diri, dan tidak mudah terpancing emosinya.
“Selain itu, posting yang perlu saja, jangan terlalu personal, jangan menyerang, jangan sembarang bercerita dan berkomentar di sosial media, dan pilih-pilih bertema di media sosial. Kalau tetap jadi korban cyberbullying, konsultasikan dan laporkan,” tuturnya.
Sebagai informasi, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Dan, perlu diketahui, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.