Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id – Dalam ruang digital kita akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural. Interaksi antar budaya dapat menciptakan standar baru tentang etika. Maka, segala aktivitas digital di ruang digital dan menggunakan media digital memerlukan etika digital.
Trisno Sakti Herwanto, S.I.P., MPA, dari Pandu Digital Badge Merah mengatakan berdasarkan survei DCI Regional Summary, masyarakat Indonesia disebut sebagai yang paling tidak sopan di dunia media digital di kawasan benua Asia.
Karena itu, dosen sekaligus Ketua Program Pendidikan Ilmu Administrasi Publik FISIP Universitas Parahayangan ini berpendapat, diperlukannya kompetensi literasi digital terkait etika berinternet (netiket).
Adapun kompetensi literasi digital mencakup kompetensi mengakses informasi sesuai netike di platform digital, mampu menyeleksi dan menganalisis informasi saat berkomunikasi di platform digital, mampu membentengi diri dari tindak negatif di platform digital, dan mampu memproduksi dan mendistribusikan informasi di platform digital.
“Mampu memverifikasi pesan sesuai standar netiket, berpartisipasi membangun relasi sosial dengan menerapkan netiket, dan berkolaborasi data dan informasi dengan aman dan nyaman di platform digital,” kata Sakti di acara diskusi virtual bertema “Pahami dan Cermati Etika di Media Sosial” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Jumat (19/5/2023).
Lanjutnya, dalam bermedia sosial, juga diperlukan kesadaran, yaitu melakukan sesuatu dengan sadar dan memiliki tujuan. Selain itu, memiliki integritas atau kejujuran, tanggung jawab, dan memiliki nilai-nilai kebajikan.
“Kita harus selalu sadar bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, melainkan dengan karakter manusia sesungguhnya,” tuturnya.
Pembicara lainnya, M Dzaki Riana, seorang sosial media marketer menuturkan, literasi digital adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi digital secara aman dan bertanggung jawab. Meliputi pengetahuan tentang penggunaan gadget, internet, dan media sosial.
Lalu dia menyinggung pentingnya keamanan digital. Katanya, keamanan digital diperlukan untuk melindungi diri sendiri saat menggunakan teknologi digital. “Ini membantu melindungi data pribadi dan menjaga privasi,” kata Dzaki.
Dia kemudian memberikan tips keamanan digital, yaitu menggunakan kata sandi yang kuat, jangan memberikan informasi pribadi kepada orang yang tidak dikenal, jangan berbagi sandi dengan orang lain, dan jangan meng-klik tautan atau mengunduh file yang mencurigakan.
“Jangan memberikan informasi pribadi, seperti nama lengkap, alamatn nomor telepon atau foto kepada orang tak dikenal. Jika ada orang mencoba meminta informasi pribadi, bicarakan dengan orang yang bisa dipercaya, terutama orang tua,” imbuhnya.
Dzaki mengingatkan, meski sekarang ini era dunia digital, bukan berarti kita meniadakan dunia nyata. Khusus kepada pelajar, dia menyarankan, selain belajar di dunia digital, kita juga harus menghabiskan waktu untuk kegiatan di dunia nyata seperti bermain, membaca buku, dan berinteraksi dengan teman secara langsung.
Dalam berinternet, lanjut Dzaki memaparkan, kita harus menghormati hak cipta milik orang lain. Dan, jangan mengunduh atau membagikan materi yang dilindungi hak ciptanya tanpa izin yang memiliki.
“Kesimpulannya, literasi digital dan keamanan digital penting bagi kita untuk menggunakan teknologi dengan bijak dan aman. Ingatlah untuk menjaga privasi dengan cara memeriksa informasi, bersikap baik, dan melibatkan orang dewasa jika menghadapi masalah,” pungkasnya.
Pembicara lainnya, Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal, Eko Hadiwiyatno menjelaskan bahwa budaya digital (digital culture) merupakan suatu hal yang membentuk cara kita berinteraksi, berperilaku, berpikir dan berkomunikasi dalam lingkungan masyarakat yang menggunakan teknologi internet.
Katanya,, budaya dapat terbentuk dari beberapa unsur, yaitu sistem agama dan politik, ada istiadat, Bahasa, pakaian/penampilan, karya seni, dan sebagainya.
Lanjut Eko, ada 3 aspek untuk membangun budaya digital. pertama, partisipasi bagaimana masyarakat memberikan kontribusi untuk tujuan bersama. Kedua, bagaimana masyarakat memperbaiki budaya lama menjadi budaya baru yang lebih bermanfaat. Dan, ketiga, bagaimana memanfaatkan hal-hal sebelumnya untuk membentuk hal baru.
“Contoh perubahan budaya yaitu aktivitas masyarakat beralih dari non online ke online di masa pandemi COVID-19,” tuturnya.
Kata dia, media sosial sebagai budaya baru berkomunikasi. Selain itu, sangat bermanfaat untuk edukasi, rekreasi, promosi, diseminasi, dan lainnya.
“Platform berbasis internet yang mudah digunakan sehingga memungkinkan penggunanya membuat dan berbagi konten (informasi, opini, dan minat) dalam konteks yang beragam (informatif, edukatif, sindiran, kritik dan sebagainya) kepada khalayak yang lebih banyak lagi,” imbuhnya.
Sebagai informasi, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Dan, perlu diketahui, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.