Investasi Trenggalek Tembus Rp 580 Miliar, Emas Hijau dan Emas Biru Masuk Sektor Unggulan

Kepala DPMPTSP Trenggalek, Edi Santoso, saat menjelaskan capaian dan arah kebijakan investasi daerah tahun 2024–2025

NUSANTARAPOS, TRENGGALEK – Investasi di Kabupaten Trenggalek menunjukkan tren positif. Pada tahun 2024, realisasi investasi mencapai Rp 580 miliar, mengalami peningkatan dari capaian tahun sebelumnya yang berada di angka Rp 542 miliar.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Trenggalek, Edi Santoso, menjelaskan bahwa kenaikan ini ditopang oleh empat sektor unggulan, yaitu industri, perdagangan, pertanian, dan pariwisata.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

“Trennya memang tidak melonjak drastis, tetapi stabil dan terus kami jaga agar tetap tumbuh dalam jangka panjang,” ujarnya, Senin (16/6/2025).

Untuk tahun 2025, Pemkab Trenggalek masih menargetkan nilai investasi pada angka yang sama, yakni Rp 580 miliar. Fokus investasi diarahkan ke empat sektor prioritas sesuai arahan Bupati Trenggalek: sektor hijau (emas hijau), sektor kelautan (emas biru), pariwisata, dan sektor utilitas.

Di sektor hijau, Pemkab Trenggalek menargetkan pertumbuhan industri hilirisasi berbasis pertanian, seperti pabrik rokok cengkeh dan pengolahan porang. Saat ini, tiga pabrik rokok telah mengajukan izin, sementara satu pabrik porang ditargetkan mulai beroperasi penuh pada tahun ini.

Sementara itu, sektor kelautan atau “emas biru” mendapat dorongan melalui peresmian pabrik fillet ikan patin serta pengembangan fasilitas cold storage oleh pihak swasta di kawasan Pantai Prigi.

“Di sektor pariwisata, kami menjajaki kerja sama untuk pengelolaan Tirta Jwalita dan Rumah Coklat, termasuk potensi masuknya investor dari Bali, Aji Krisna, yang tertarik membangun Graha Krisna di Trenggalek,” papar Edi.

Pada sektor utilitas, proses perizinan tengah berlangsung untuk sejumlah proyek strategis, termasuk pembangunan gudang logistik, pengolahan limbah B3, dan pengolahan sampah menjadi energi listrik dengan teknologi dari Amerika Utara.

Meski pertumbuhan investasi relatif positif, Edi mengakui masih ada beberapa hambatan signifikan. Salah satunya adalah belum diperbaruinya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sejak tahun 2012, sehingga banyak lahan tidak bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan investasi.

“Sudah 13 tahun belum direvisi. Ini menjadi kendala karena lokasi yang seharusnya bisa dipakai investor, justru tidak sesuai peruntukan,” ujarnya.

Edi juga menyoroti tantangan dalam sistem perizinan berbasis online. Meskipun memudahkan dari sisi dokumentasi, komunikasi langsung antara investor dan pemangku kepentingan menjadi terbatas, terutama ketika sistem mengalami gangguan.

“Beberapa perizinan juga masih menjadi kewenangan pusat, kami berharap sebagian bisa dilimpahkan ke daerah agar lebih cepat,” tambahnya.

Menanggapi isu adanya investor yang mundur, Edi menegaskan bahwa sebagian besar masih dalam tahap penjajakan. Namun ia tak menampik bahwa ada sejumlah investor, khususnya di sektor hilirisasi dan pariwisata, yang belum melanjutkan ke tahap kerja sama formal.