Pengamat: Pilpres Tentang Partai Islam Dalam Negeri Lawan Partai Islam Impor

Jakarta, NusantaraPos – Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 disebut sebagai pertarungan partai politik Islam dalam negeri, melawan partai politik Islam luar negeri atau yang memiliki ideologi transnasional. Bukan lagi seperti pemilu sebelumnya, yang cenderung menampilkan persaingan antar organisasi dan partai Islam lokal.

“Saya melihat di Pemilu 2019 ini bukan lagi tentang Masyumi melawan NU atau PBB dengan PKB, NU dengan Muhammadiyah, tapi antara partai Islam dalam negeri atau asli Indonesia, melawan partai Islam impor,” kata pengamat politik Islam sekaligus pendiri Pancasilapedia, Syaiful Arif di diskusi Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) bertema ‘Islam dan Politik Kebangsaan: Membangun Adab Politik Menuju Pesta Demokrasi 2019’, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (29/3/2019).

Partai dan organisasi Islam dalam negeri yang dimaksud Syaiful ialah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nahdlatul Ulama dan lainnya. Sementara, partai politik yang berafiliasi dengan gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir dan gerakan hizbut tahrir internasional disebut sebagai partai dan organisasi Islam impor. Di Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) diketahui terkait dengan IM, sementara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) organisasi kemasyarakatan (ormas) yang terkoneksi dengan hizbut tahrir internasional. Baik IM maupun hizbut tahrir, dinilai berbahaya karena mengancam ideologi bangsa seperti Pancasila. Karenanya Syaiful setuju jika HTI dibubarkan pemerintah, sebab di Timur Tengah sendiri organisasi sudah sejak lama dilarang.

“Kalau Ikhwanul Muslimin itu menggunakan demokrasi untuk mengislamkan suatu negara. Tapi gagal di Indonesia,” jelas santri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sementara, Sekretaris Jenderal PBB, Afriansyah Ferry Noor, mengakui di era sekarang gagasan yang ditawarkan partai politik Islam kurang laku. Hal ini ditunjukkan dari minimnya suara dan pengaruh partai Islam, dibanding masa setelah kemerdekaan dan paska reformasi.

“Di era milenial seperti sekarang partai Islam tidak laku. Hampir 10 tahun belakangan partai Islam tidak mewarnai kehidupan berbangsa bernegara di republik ini,” tuturnya.

Lebih lanjut, kendati partai Islam, PBB menurut Afriansyah tetap toleran terhadap umat beragama lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya calon anggota legislatif (caleg) PBB yang berasal dari nonmuslim.

“Partai Islam itu memiliki Alquran di dalamnya ada seperti undang-undang yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara tapi tetap bertoleransi, tanpa membedakan kelompok,” jelas dia.

Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti, mengatakan kendati pemilih mengedepankan kesamaan agama dalam memilih calon pemimpin di pemilu, partai Islam di Indonesia saat ini kesulitan memperoleh suara. Salah satu penyebabnya ialah tidak adanya perbedaan antara partai Islam dengan partai nasionalis. Apalagi isu atau janji kampanye yang disampaikan cenderung umum.

Karenanya Ray menyarankan agar sekat-sekat keagamaan di politik dihilangkan. Sebab selain merugikan partai itu sendiri karena mempersempit ruang gerak, pada dasarnya partai Islam juga membutuhkan pemilih nonmuslim.

“Yang kita inginkan sekat-sekat keagamaan itu tidak perlu ditonjolkan di pemilu. Karena
partai agama juga membutuhkan pemilih nonmuslim. Tinggal bagaimana membuat pemilih nonmuslim ini tak terbebani psikologisnya ketika memilih partai Islam,” tandasnya. (RK)