OPINI  

Menakar Makar dari Sudut Pandang Hukum dan Politik Terkini

Ilustrasi "people power" yang bisa berujung ke arah makar.

Ditulis oleh : C. Suhadi, SH, MH

Pasal makar (aanslag) seperti diatur dalam pasal, 104, 106, 107 dan 108 KUHP sedang menjadi ramai dibicarakan banyak orang. Karena suka maupun tidak orang jadi ingin tahu kaitan pasal itu dengan pelaku tindak pidana makar terhadap kepala negara atau ingin menggulingkan pemerintahan yang sah, tentunya dengan jalur inkonstitusional.

Barangkali pada zaman Pak Harto (Soeharto) dengan mengukur kejadian sekarang, para tokoh yang dianggap berbuat makar satu persatu masuk penjara tanpa ada ampun. Kenapa? Jelas pandangannya pada waktu itu orang-orang yang merongrong negara adalah musuh negara.

Pasal makar atau dalam bahasa hukumnya aanslag (violent attack, fierce attack) meliputi :

– Ingin membunuh Kepala Negara, pasal 104 KUHP.
– Ingin merebut daerah kekuasaan yang berada di wilayah Indonesia contoh, kehendak suatu daerah ingin merdeka atau memisahkan dari negara kesatuan, pasal 106 KUHP.
– Ingin menggulingkan pemerintahan yang sah, pasal 107 KUHP.

Masih ada pasal-pasal lain, tapi di zaman kekinian (euforia people power) pasal-pasal lainnya itu menjadi tidak menarik dikaitkan.

Makar dalam kamus besar bahasa Indonesia, mempunyai beberapa pengertian berupa akal busuk yang hendak, menyerang, menjatuhkan dan menggulingkan suatu pemerintahan yang sah dan dengan cara-cara di luar aturan aturan hukum yang berlaku.

Pasal-pasal makar sangat sering digunakan pada era Soeharto yang dikenal juga orde baru (orba) dan bahkan penggunaannya sangat represif (menekan) yang tidak terukur. Malah pasal-pasal makar oleh pemerintah orba telah dianggap sebagai pelindung kekuasaan yang sangat ampuh.

Kemudian seiring berjalannya waktu, penggunaan pasal makar tidak lagi represif akan tetapi mengedepankan peran-peran dialog, sehingga lambat laun pasal makar menjadi pasal karet. Artinya bukan lagi dari niatnya dari perbuatan itu yang di kedepankan akan tetapi tujuan besar dalam membangun berbangsa dan bernegara.

Dan itu yang sangat dimiliki oleh Presiden kita Bapak Jokowi, hukum berkaitan dengan kekuasaan dan atau menyangkut nama baiknya bila dihina atau dicaci maki beliau diam saja tanpa bereaksi apalagi melawan yang sebetulnya sangat bisa dilakukan.

Dalam pandangan saya, untuk membangun bangsa yang besar ini, memang pada akhirnya bukan lagi sikap otoritarian yang menakut-nakuti rakyat, akan tetapi lebih mengedepankan sikap ke Bapaan yang mengayomi.

Bangunan besar dari kata, kerja, kerja dan kerja dan kemudian mengesampingkan caci maki dari lawan-lawan politiknya yang nyinyir seperti, FZ, FH, AD, AR serta HR bangsa ini sudah menjadi bangsa besar yang diperhitungkan dunia.

Pasal makar lebih kental kepada kepentingan politik, dari pada kepentingan penegakan hukum itu sendiri. Sebab biasanya pelaku-pelaku dugaan makar selalu berada di level oposisi, serta orang-orangnya yang menjadi bintang panggung seperti ES, AR, FZ, FH dan seterusnya adalah barisan dari kelompok diluar garis pemeritahan.

Seiring berjalannya waktu, pasal makar telah masuk pada idiom baru yang rumusannya tidak dalam kontek pada rumusan penegakan hukum semata akan tetapi lebih pada rumusan kepentingan politik dalam berbangsa dan bernegara, sehingga mau tidak mau pasal makar menjadi lebih pada pasal-pasal karet.

Sehingga jangan heran kalau belum lama ini kita dikejutkan dengan di cabutnya ijin cekal oleh Mabes Polri terhadap KZ dengan alasan yang bersangkutan akan kooperatif, juga pada pasportnya menjelang habis masa berlakunya. Dari sisi hukum kedua alasan Polri kurang tepat, satu dan lain urusan kooperatif dan pasport yang menjelang tidak berlaku tidak berkait langsung dengan proses hukum.

Saya lebih setuju dicabutnya ijin cekal, tidak lain adalah untuk mengedepankan jalur dialog yang terukur bahwa pemilu berakhir dengan kegembiraan milik semua rakyat Indonesia.

Namun apabila jalur dialog sebagai goodwill semua pihak dalam mengakomodir kepentingan semua pihak juga tidak terlaksana, suka dan tidak suka proses hukum sebagai jalan akhir yang harus dihormati dan semua orang yang menjadi bagian dalam proses hukum harus menerimanya tanpa perlu menyebut penegak hukum yang tidak netral.

Penulis adalah Advokat Senior yang juga
Ketua Umum Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) sekaligus Ketua Bidang Hukum Aliansi Relawan Jokowi (ARJ)