HUKUM  

Pemerintah Tidak Lagi Kebal Hukum Dalam Penanganan Covid-19

Gedung Mahkamah Konstitusi.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Pada Kamis, (28/10/21) kemarin akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara No. 37/PUU-XVIII/2020, mengabulkan sebagian gugatan materiil terkait dengan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanganan Pandemi Corona di Indonesia.

Keputusan MK tersebut antara lain ;
Bila status masih berlaku atau dilanjutkan sampai akhir tahun kedua (akhir tahun ini), maka anggaran Covid harus dengan persetujuan DPR-RI dan pertimbangan DPD.

Tentang pasal kebal hukum, yaitu pasal 27 ayat (1,2,3), lampiran UU 2/2020, terkait dengan imunitas atau kekebalan pemerintah, MK juga memutuskan UU Covid sebagai inkonstitusional

“Jadi, frasa “bukan kerugian negara” (Pasal 27 ayat (1) itu, dapat bertentangan dengan pasal lain dalam UU Tipikor,” demikian diungkapkan Advokat sekaligus Ketua Bidang Hukum & Advokasi DPP Partai UMMAT Djudju Purwatoro dalam keterangan persnya, Sabtu (30/10/2021).

Djudju mengungkapkan sekarang pejabat pemerintah (ayat 2) yang melakukan itikad tidak baik dan merugikan negara (korupsi), termasuk sebagai subjek hukum yang kini bisa digugat sebagai koruptor.

“Jadi, sekarang Pemerintah tidak lagi kebal hukum. Kini, pemerintah bisa digugat, jika terindikasi menggunakan dana untuk penanganan Covid-19 secara ugal-ugalan,” ucapnya.

Selama ini, lanjut Djudju, tampak adanya ‘upaya peyelundupan hukum’ (terselubung) atas pasal-pasal yang dibatalkan tersebut, sehingga sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.

“Segala aturan pemerintah tentang Prokes dengan alasan pencegahan Covid-19, berpotensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan korupsi, karena menggunakan anggaran negara yang besar (triliunan). Faktanya, sebagian besar rakyat terdampak justru terbebani dengan biaya hidup (sosial ekonomi), yang mestinya jadi tanggung jawab pemerintah,” tegasnya.

Adapun jangka waktu keberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (UU Covid-19) akhirnya dibatasi. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dalam pertimbangan hukumnya, memutuskan UU Covid-19 hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU Covid-19 diundangkan.

“Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut,” papar Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (28/10/2021) terhadap uji UU Covid-19.

Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah juga menilai bahwa secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat mengenai keadaan darurat. Sehingga, memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Pembatasan waktu secara tegas dan pasti terhadap UU Covid-19 ini agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan yang ada di dalamnya, hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi,” urai Suhartoyo.

Namun dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama sebelum memasuki tahun ke-3, lanjut Suhartoyo, maka hal-hal yang terkait dengan alokasi anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan ini perlu dilakukan karena norma tersebut telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai 2022. Oleh karena itu, sambung Suhartoyo, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan defisit anggaran tersebut.

“Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU Covid-19 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Suhartoyo.

Sebelumnya Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah mengajukan permohonan terkait pasal tersebut. Para Pemohon menguji secara formil dan materiil UU Covid-19 yang dinilai melanggar hak konstitusional para Pemohon.