OPINI  

MUI Sudah Layak Dibubarkan, atau Pembenahan di Dalamnya Sesuai “Khitah” Awal

Ketua Umum Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) C. Suhadi, S.H., M.H.

Ditulis Oleh : C. Suhadi, S.H., M.H. Ketua Umum Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bagi sebagian orang beranggapan adalah sebuah lembaga, tapi ada sebagian orang MUI adalah ormas yang sama dengan ormas ormas lainnya di Indonesia, seperti, Nahdatul Ulama (NU), Muhamadiah ICMI dan lain-lain. Itu artinya MUI adalah ormas hasil bentukan dari sekelompok tokoh yang hendak mangabdikan diri pada, nasihat dan fatwa.

MUI yang berdiri sejak 46 tahun yang lalu, tepatnya dalam penggalan Islam, 7 Rajab 1395 Hijriah, atau tanggal 26 Juli 1975, dan pertama kali MUI dipimpin oleh Ketua Umum, Hamka.

Dari membaca sejarah terbentuknya MUI, organisasi ini bukan organ sembarangan seperti yang ramai diberitakan sekarang ini. Sebab apabila membaca sejarah MUI bukan dari sekelompok organ besar akan tetapi terdiri dari banyak kelompok organisasi/tokoh Islam seperti, NU, Muhammadiyah. Bukan hanya organ-organ besar seperti disebutkan akan tetapi para tokoh cendikiawan muslim serta unsur dari TNI, baik darat, laut dan udara serta Polri.

Dengan bercermin pada unsur yang di MUI, maka organisasi ini bukan organisasi sembarangan yang asal jadi atas berkumpulnya sekelompok orang, tetapi wadah yang mewakili semua kelompok di organisasi besar. Sehingga atas pertimbangan itu, MUI seiring dalam perjalanannya telah diberi kepercayaan oleh pemerintab selain di itern MUI telah menjadi corong nasihat bagi organ-organ keagamaan akan tetapi juga MUI sebagai organisasi besar telah diberi kepercayaan untuk memberi dan mengeluarkan sertifkat halal dan haram pada semua jenis makanan.

Bahwa dalam rangka meligitimasi peran MUI berkaitan produk halal dan haram, pada tahun 2008 pemerintah telah memasukan MUI dalam undang undang, sebagai organisasi yang yang boleh mengeluarkan fatwa, dan fatwa yang dimaksud bukan hanya pada masalah halal dan haram pada jenis makanan akan tetapi juga masalah pengurusan di sebuah Bank, khususnya Bank Syariah, dan hal ini terlihat dalam UU Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008,

Pasal 32
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.

(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

Dengan begitu peran MUI di perbankan syariah menjadi penting, sebab pengesahan keberadaan Dewan Pengawas sebelum disahkan di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) harus terlebih dahulu di rekomendasikan oleh MUI. Tanpa itu Dewan Pengawas tidak dapat disahkan dalam RUPS, dan peran rekomendasi MUI menjadi kebutuhan di sebuah perusahaan perbankan syariah.

Tidak hanya di UU Perbankan Syariah peran MUI, akan tetapi juga di UU No. 33 tahun 2014, tentang Jaminan Produk Halal. Dalam UU 33 Tahun 2014 berkaitan dengan produk halal pada hewan tertuang dalam pasal, 7 hurup c
dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
c. MUI.

Selain pasal 7 huruf c undang undang Produk Halal, pada 18 peran MUI sangat besar dalam menentukan serta menerbitkan serfikat halal pada hewan, hal ini tertuang di ayat 2 yang bunyinya sebagai berikut : Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

Dengan merujuk pada parameter undang undang MUI bukan hanya sebagai organisasi biasa seperti FPI atau HTI yang seketika dapat dibubarkan kapan saja, akan mendapat tantangan besar bukan dari organ itu saja akan tetapi melingkup kepada domain pemeritah khususnya lembaga yang berkait dengan masalah Bank dan kementerian yang berhubungan dengan produk halal dan haram. Karena apabila dibubarkan maka dampaknya akan berimbas pada UU itu tadi dan dalam waktu tertentu ada banyak kekosongan yang terjadi berkaitan dengan cap halal dan haram.

Barangkali ada sekelompok orang berpikir, bagaimana peran MUI digantikan dengan NU atau Muhammadiyah. Ini akan sulit, sebab sudah dapat dipastikan akan terjadi tarik menarik kepentingan satu dengan yang lainnya. Selain itu sebagaimana dalam rangkuman sejarah perjalanan MUI bukankah NU dan Muhammadiyah telah masuk dalam Organisasi MUI.

Sehingga sebagai bentuk jamak dari sebuah organ, MUI bukan masuk dalam wacana dibubarkan, akan tetapi harus ada perombakan besar besaran agar MUI kembali kepada khitah awal, yaitu wadah rembuk ulama dan fatwa, bukan masuk pada politik praktis seperti Pilkada DKI dan biarlah wilayah politik dimainkan dalam gendang organisasi asal. Sebab politik itu tidak seperti mengeluarkan sertifikat halal yang ada sumhernya, sedangkan politik itu seperti “kentut” yang terasa baunya tapi tidak tahu asalnya.