Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id -Jejak digital merupakan segala informasi yang Anda tinggalkan di internet. Biasanya tanpa sadar pengguna internet akan meninggalkan jejak digitalnya.
Jejak digital sangat mudah diakses oleh banyak orang dalam waktu yang singkat dan jejak digital hal yang paling sulit untuk dihapus.
Anang Masduki, praktisi pendidikan mengatakan bagi pengguna internet yang pasif, jejak digital tanpa disadari tercipta melalui browsing, history, dan cookies. Sedangkan, bagi yang aktif, tercipta ketika pengguna memberikannya pada layanan internet seperti mendaftar di Facebook, melakukan share location di WhatsApp, dan sebagainya.
Lalu bagaimana caranya menghapus jejak digital? Anang menyarankan agar jangan mengkoneksikan smartphone yang lama dengan akun layanan yang digunakan. Dan, mengamankan email yang digunakan untuk mendaftar layanan internet.
“Atau, memberikan informasi yang bukan sebenarnya pada layanan internet,” kata Anang Masduki di acara diskusi virtual bertema “Waspada Rekam Jejak Digital” yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Kamis (6/4/2023).
Anang mengatakan, potensi bahaya yang didapat akibat meninggalkan jejak digital yaitu data-data pribadi yang sangat mudah diakses dan digunakan oleh pihak pemroses maupun pihak lain tanpa sepengetahuan pemilik data.
“Pencurian data pribadi berpotensi digunakan untuk kejahatan, seperti pencurian rekening, hingga transaksi ilegal menggunakan data identitas kita,” ujarnya.
Sementara itu, Plt Kasi SMA/SLB Dinas Pendidikan Wilayah III Provinsi Jawa Tengah Drs. Didik Sumardiyanto, M.Pd menegaskan bahwa data pribadi perlu dilindungi. Diungkapkannya, Indonesia masuk dalam 10 besar negara yang dengan jumlah kebocoran data terbanyak di internet.
“Menurut data perusahaan keamanan siber Surfshark, ada 1,04 juta akun yang mengalami kebocoran data di Indonesia selama kuartal II 2022. Jumlah tersebut menjadi Indonesia menempati urutan ke-8 dari sisi jumlah serangan siber secara global.
Tak hanya itu, mengutip Tempo.co, Didik membeberkan lebih detail kebocoran data pribadi di Indonesia. Pada Mei 2021, data sejumlah peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dijual di Raid Forums seharga 0.15 Bitcoin.
Kasus kebocoran data juga terjadi di dua perusahaan yakni cermati.com dan Lazada, juga beredar di Raid Forums. Di dalamnya ada data yang diperjualbelikan dari cermati.com sebanyak 2,9 juta pengguna yang diambil dari kegiatan 17 perusahaan, sebagian besar kegiatan finansial. Sedangkan Lazada mengalami kebocoran sebanyak 1,1 juta data.
Selain itu, sempat ramai beredar di media sosial dugaan penjualan data 2 juta nasabah BRI Life dengan harga US$7.000 atau sekitar Rp101,6 juta. Unggahan itu dibeberkan akun Twitter @HRock.
Didik menyebutkan, kebocoran data juga memicu terjadi cyberbullying atau perundungan di media sosial.
Dia mencontohkan kasus pem-bully-an melalui aplikasi WhatsApp tahun 2021 terhadap seorang siswa SMA di Yogyakarta setelah fotonya disebar di WhatsApp. Dia menerima pesan-pesan yang menghina dan merendahkan martabatnya. Kasus ini menunjukkan betapa mudahnya seseorang menjadi korban kekerasan online dan perlunya edukasi tentang tindakan yang harus dilakukan ketika menjadi korban,” tuturnya.
Didik pun mengimbau kepada masyarakat untuk bersikap bijak dalam berdigital. “Waspada, menahan diri, perkuat literasi dan critical thinking,” ujarnya.
Pembicara lainnya, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara Mlangi, Muhammad Mustafid mengatakan, jejak digital adalah jejak data yang kita buat dan kita tinggalkan saat menggunakan perangkat digital.
“Jejak digital adalah segala rekam jejak atau memori dari segala kegiatan seseorang yang dilakukan dan terekam di dunia digital, melalui aplikasi smartphone seperti GPS, media sosial, bahkan email,” terangnya.
“Setiap aktivitas digital kita, seperti kunjungan ke web, kicauan di Twitter, update status di Facebook, foto di Instagram, dan segala informasi yang kita kirimkan di platform dan layanan digital, seperti belanja online dan pesanan transportasi online,” tambahnya.
Sekretaris Nur Iman Foundation Yogyakarta menyebutkan salah satu ancaman terbesar bagi kaum muda di situs media sosial adalah jejak digital yang dapat mempengaruhi reputasi di masa depan.
Dia menjelaskan, jejak digital pasif adalah jejak data yang kita tinggalkan secara daring dengan tidak sengaja dan tanpa sepengetahuan kita. Biasanya digunakan untuk mencari tahu profil pelanggan, target iklan, dan lain sebagainya.
“Jejak digital pasif ini tercipta saat kita mengunjungi situs web tertentu dan server web mungkin mencatat alamat IP kita, yang mengidentifikasi penyedia layanan Internet dan perkiraan lokasi,” tuturnya.
“Meskipun alamat IP kita dapat berubah dan tidak menyertakan informasi pribadi apa pun, itu masih dianggap sebagai bagian dari jejak kita,” sambungnya.
Sedangkan jejak digital aktif mencakup data yang dengan sengaja kita kirimkan di internet atau di platform digital. Contohnya seperti mengirim email, mempublikasikan di media sosial, mengisi formulir daring, dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut berkontribusi pada jejak digital aktif kita karena kita memberikan data untuk dilihat dan/atau disimpan oleh orang lain.
Semakin banyak email yang kita kirim, semakin banyak jejak digital kita. Saat ini, banyak orang bahkan tidak berpikir sebelum mereka mempublikasikan sesuatu. Jejak digital aktif kita dapat mempengaruhi berbagai hal seperti ketika kita melamar pekerjaan baru.
“Perusahaan saat ini gemar untuk melihat profil media sosial calon pekerjanya sehingga kita perlu untuk berhati-hati dalam mengelola jejak digital aktif ini. Komentar kasar di Twitter atau foto yang pelanggaran aturan di Instagram sudah cukup untuk merusak peluang kerja dan reputasi kita,” jelas Mustafid.
Apakah jejak digital bisa dihapus? Mustafid menegaskan, tidak bisa. “Kita bisa saja meminta penyedia platform media digital untuk menghapus data yang kita miliki. Kita juga bisa menghapus atau menutup akun. Tapi, dalam konteks kehidupan digital, kita tidak pernah hidup sendiri. Di luar sana ada orang-orang yang mungkin sudah menangkap tampilan layar atau mengarsipkan dokumen pribadi yang pernah kita unggah. Maka hampir mustahil untuk menghapus jejak ini secara utuh,” katanya.
Perlu diketahui, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Sebagai informasi, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.