BUDAYA  

Parade Kebudayaan Peringati Hari Buruh dan Pendidikan

Nusantara Pos. Sejumlah elemen mahasiswa yang tergabung dalam Parade Kebudayaan Hardiknas dan Hari Buruh menggelar aksi di kantor DPRD NTT, Rabu (02/5).

Massa aksi tersebut membawa 16 point tuntutan dan diterima langsung oleh Komisi V DPRD NTT, antara lain Winston Rondo, Aleksander Ena, Anselmus Talo, Yunus Takandewa dan Anwar Hajral.

Menerima aspirasi massa aksi itu, Yunus Takandewa menyampaikan aspirasinya telah diterima Komisi V DPRD NTT, dan selanjutnya menjadi bahan internal DPRD dalam mejalankan fungsinya.

Selain itu, dikatakannya, DPRD NTT juga menolak sistim kapitalisme di dunia pendidikan NTT, bahkan iapun menginformasikan alokasi anggaran pemda sebesar 1,2 Triliyun Rupiah untuk pendidikan di NTT kepada massa aksi.

Pada kesempatan itu juga, Winston Rondo menyayangkan sistim pendidikan yang sedang dijalankan saat ini, terutama di perguruan tinggi.

Hal itu menurutnya, disebabkan konstitusi tentang perguruan tinggi yang telah memberikan dampak kepada kalkulator untung rugi, ada uang kuliah, ada uang wisuda, dan lainnya.

Massa aksi melakukan aktivitasnya dengan tertib. Koordinator aksi dalam orasinya tersebut mengungkapkan, yang menjadi alasan mendasar kehadirannya melakukan aksi itu berdasarkan pengamatan lapangan yang ternyata terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi.

“Banyak anak seusia kami belum mengeyam dunia pendidikan malah jadi penjual koran. Seharusnya pemerintah memperhatikan mereka sebagaimana amanat konstitusi bahwa pendidikan adalah alat untuk mencerdasakan kehidupan bangsa,”ujarnya.

Selain tentang pendidikan, massa aksi juga menyuarakan tentang buruh.

Menurut massa aksi, banyak buruh yang merasakan upah kerja yang minim dan tidak sesuai UMR dengan jam kerja yang tinggi. Bahkan, banyak juga buruh yang telah dipecat dari pekerjaannya.

Selain itu, lahan-lahan masyarakat dirampas demi kepentingan segelintir orang.

Hal ini yang menurut mereka telah menyebabkan kemiskinan di NTT, dan juga telah membuktikan bahwa pemerintah tidak memiliki kedaulatan di bidang politik. (*MRT)